BAB 10

3K 169 0
                                    

Jangan lupa Follow, Vote, and Coment 💜

Keluar dari ruangan tempat rapat di Caffe Reaser, Naira berdiri membelakangi pintu dengan posisi tangan di dadanya.

"Hah? Itu tadi beneran Devano? Devano Aditama? Fotografer dan penyanyi cover terkenal? Mimpi apa aku semalam bisa ketemu dia secara langsung? Ini kenapa lagi jantungnya kayak mau maraton. Astaghfirullah tenang Nai, tenang, huuhhhh," gumam Naira seraya menetralkan pernafasan yang tercekat karena bisa bertemu dengan orang se-terkenal Devano Aditama.

"Kenapa Nai?" tanya Meli dari meja kasir menatap heran Naira.

"Hah? eng-enggak Mbak," jawab gagap Naira.

"Ohh kirain ada apa," balas Meli seraya kembali melakukan pekerjaannya.

Naira masih betah di posisinya. Posisi dimana tangannya masih berada di dadanya. Menetralkan detak jantung yang tiba-tiba berpacu lebih cepat dari biasanya.

Setelah pernafasan teratur dan detak jantungnya kembali seperti biasa, Naira berjalan menuju meja kasir. Meja dimana terdapat Meli disana.

"Mbak Mel," panggil Naira pelan.

"Ada apa Nai?" tanya Meli masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Emmm itu, emm," ucap Naira tidak jelas.

"Apa?" penasaran Meli seraya melihat ke arah Naira.

"Nggak jadi Mbak hehe," jawab Naira dengan cengirannya.

"Gak jelas banget deh Nai," kesal Meli dan memilih melanjutkan pekerjaannya.

"Aku balik ke belakang dulu Mbak," pamit Naira yang hanya dibalas deheman oleh Meli.

________

"Terimakasih karena telah menerima kerja sama dengan perusahaan kami Devano," ucap Pak Bara seraya menjabat tangan Devano.

"Sama-sama Pak, semoga saya bisa melakukannya dengan baik," jawab Devano dengan senyumnya.

"Kalau begitu kami pamit dulu. Permisi," Pak Bara dan perempuan yang bersama pergi meninggalkan ruangan khusus tempat pertemuan di Caffe Reaser.

"Jun," panggil Devano pada Juna setelah kepergian Pak Bara.

"Kenapa?" balas Juna.

"Lo kenal sama pelayan cewek tadi?" tanyanya ragu-ragu.

"Yang mana?" tanya Juna seraya menilik wajah Devano.

"Ck, yang tadi itu yang nganterin makanan," perjelas Devano.

"Oohh itu," balas Juna manggut-manggut. "Kenapa emang?" sambung Juna.

"Emm ngg-nggak papa," jawab Devano gagap.

"Serius nih?" tanya Juna sembari menaik turunkan alisnya menggoda.

"Ck iya nggak papa," jawab Devano sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain yang terpenting tidak mengarah pada Juna.

"Kok pake nanya-nanya segala sih kalo nggak papa," gencar Juna menggoda.

"Iya nggak papa, cuma baru liat aja pelayan Caffe yang pake hijab udah itu aja."

"Masa sih, padahal di Caffe deket tempat kerja juga ada pelayan yang pake hijab," Juna semakin gencar menggoda.

"Tau lah, gue mau pulang," kesal Devano dan segera beranjak meninggalkan Juna yang sedang terkikik geli di belakangnya.

Devano keluar dari ruangan pertemuan di Caffe Reaser tak lupa dengan masker dan topi hitamnya. Devano langsung menuju ke pintu keluar tanpa membayar makanan tadi, karena  semua sudah dibayar bersama saat menyewa tempat pertemuan tadi.

Sebelum sampai di pintu masuk dan keluar, Devano menghentikan langkahnya saat tanpa sengaja matanya menatap pemandangan indah di depannya. Dimana di depan sana, di meja kedua dari pintu masuk terdapat Naira yang sedang tertawa dengan anak kecil berumur sekitar tiga tahun yang berusaha makan sendiri yang mana membuat makanan berceceran di sekitar mulutnya.

Merasa diperhatikan, Naira mengalihkan pandangannya ke arah samping kanan tepat dimana Devano berdiri. Tanpa sengaja, sepasang mata coklat gelap milik Naira bertabrakan dengan sepasang mata hitam pekat milik Devano. Seakan terhipnotis oleh mata hitam pekat milik Devano, Naira hanya bisa terdiam memandang manik mata hitam pekat itu.

Sadar akan hal yang sedang dia lakukan, Naira segera mengalihkan pandangannya ke arah lain, sesekali melirik ke arah pemilik manik mata hitam pekat itu. Lama mengalihkan pandangan, Naira memandang kembali ke arah Devano dan membungkuk kecil tanda terimakasih telah mampir ke Caffe Reaser. Hal itu memang sudah menjadi kebiasaan Naira dan teman teman pelayanan lainnya untuk menghormati pelanggan.

Setelahnya Naira pergi dari meja kedua dari pintu masuk menuju dapur untuk melanjutkan pekerjaannya kembali. Sama hal-nya dengan Devano yang memilih pergi setelah melihat pemandangan indah di Caffe tersebut. Devano keluar dari Caffe dengan senyum lebar dibalik masker hitamnya.

________
Bersambung......

Idolaku Suamiku •END•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang