Aku Asha. Pakai H! A.S.H.A. Bukan Asa. Walaupun cara panggilnya sama saja, tapi aku suka mengoreksi orang yang salah menulis namaku. Tidak terkecuali guru di sekolah. Tidak ada kepanjangannya. Singkat tapi bermakna. Karena arti dari namaku adalah harapan.
Aku baru selesai menangis, dekat dengan langit di daerah Jakarta Selatan. Hari ini Ayah masuk rumah sakit padahal selama hidup bersama dia tidak pernah mengeluh sakit kepala, sakit pinggang, pegal-pegal apalagi gatal-gatal. Tapi tadi siang tiba-tiba Ayah jatuh pingsan dan ternyata punya riwayat sakit jantung koroner.
Sejujurnya aku terkenal ceria dan pemberani, terakhir menangis itu waktu mendapat haid pertama bersamaan di hari pertama masuk SMA. Aku berpikir yang aneh-aneh waktu itu. Bangun tidur kasurku terdapat bercak merah, tidak sedikit pula. Jadi ku kira, aku mengidap kanker yang sudah masuk stadium akhir. Untunglah abangku, Pratama, punya ilmu soal kewanitaan. Jadi sejak saat itu aku memilih untuk menangis diam-diam. Tidak mau ayah dan abang tau.
Sekarang disini lah aku berakhir. Di rooftop rumah sakit, menatap jalanan lalu lintas yang hidup 24 jam. Aku tidak mau terlihat lemah, terkhusus dihadapan abang yang kuat. Saat ini dia sedang menemani ayah. Mereka lebih cocok cerita bersama, karena topik pembicaraan yang diangkat lebih nyambung. Bisa soal bola, mancing, burung, kendaraan, atau yang lainnya. Kebetulan abang dan ayah bekerja sama mengelola bengkel mobil yang modalnya berangkat dari hasil warisan bapaknya ayahku.
Ibuku Lili Yolanda, sudah meninggal. Padahal aku belum pernah melihat wajahnya langsung. Ibu pergi sehari setelah melahirkan aku. Kata ayah, dinding rahim ibu robek sampai-sampai nyawanya terenggut. Aku hanya bisa memandang wajahnya lewat foto yang terpampang di kamar, ruang tamu, dan dompetku.
"Asha!"
Aku segera menghapus sisa-sisa air mata yang masih tergenang di pipi. Menoleh pada seseorang yang baru saja datang memanggil. Ternyata Ravael, sahabatku.
"Maaf baru datang."
Ujar Rava dengan wajah bersalahnya, lalu mendudukkan diri. Aku menaikan bahu acuh. Gapapa terlambat dari pada tidak sama sekali.
"Ayah sudah sadar. Lagian aku cuma kasih kabar, bukan minta kamu datang."
Ravael menghela, mungkin lega. "Sudah dikasih kabar itu tandanya diminta datang."
"Itu berlakunya cuma untuk orang lain. Buat aku enggak!" Alibi ku, padahal sejujurnya memang menunggu kehadiran Rava sejak tadi.
Rava mengeluarkan sekotak pisang coklat keju yang sejak tadi berada dalam plastik di genggamannya, "Aku tau, kamu pasti belum makan, kan?"
Aku mengangguk, Rava memang paling mengerti. Membuat aku semakin lebih banyak mengandalkan kehadirannya. Pisang coklat keju, makanan favorit kami berdua. Walaupun kalau lagi makan bersama, aku yang menghabiskan lebih banyak.
Baru melihat penampilannya saja, aku sudah tau kalau pisang yang Rava bawakan bukan dari tempat langganan kami biasa. "Ini belinya gak tempat mba Sri?"
Rava mengangguk, kelihatan tampak ragu. "Aku tadi gak lewat sana."
Kalau jawabannya begini, itu berarti Rava perginya tidak dari rumah ke rumah sakit. Karena Warung mba Sri itu berada di simpang empat jalan menuju rumahnya. Aku jadi menunda makan pisangnya sebelum dapat jawaban pasti, "Emang dari mana? kok tidak lewat sana?"
"Aku dari rumah Dira."
Jawaban Rava membuat aku semakin enggan buat memakannya. "Ngapain?"
"Kamu ingatkan cerita aku sebulan yang lalu? Aku suka sama Dira. Ternyata dia juga suka. Kami baru saja jadian hari ini."
Penjelasan Rava membuat selera makanku langsung melarikan diri. Mataku jadi ingin menangis lagi. Apa dia gak sadar kalau selama ini aku diam-diam menyimpan hati untuknya? Rasanya aku ingin melengserkan posisi Dira dihatinya sekarang juga. Tapi bagaimana caranya?
Cinta tidak harus memiliki, tapi mendengar dia memilikimu adalah awal dari patah hati. Mengapa mencintaimu menjadi sesuatu yang rumit?
*
Cerita ketiga, ayo berpetualang sampai akhir!!
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Novela JuvenilAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...