Anak Motor

46 4 0
                                        

Jam istirahat berjalan agak ricuh, Rava dan Dira saling menandai dan mengumumkan soal hubungan mereka di sosial media. Akhirnya semua orang tau, bahwa sebenarnya Rava bukan punyaku. Aku tersenyum ketika ada teman yang bertanya mengenai kedekatan ku dengan Rava selama ini, beberapa teman mengira kalau kami berdua yang pacaran. Padahal yang dekat belum tentu jadian. 

"Aku hanya sahabatan dengan Rava." Begitu kataku untuk menjawab kebingungan teman-teman kelas. 

Aku, Neisha, dan Dame pergi ke pinggir lapangan, duduk di bangku yang ada di bawah pohon. Kami sengaja tidak pergi ke kantin, karena oleh-oleh dari Dame dan Neisha lebih dari cukup untuk mengisi perut. Hitung-hitung sekalian hemat uang jajan.

"Rava itu tipe cowok idaman. Kabar dia pacaran sama Dira, berhasil mematahkan banyak hati wanita."

Aku tersenyum, aku adalah salah satu korban patah hati. Rava memang cukup populer. Dia sempat mengemban tugas sebagai ketua osis di kelas XI. Sekarang sudah tidak lagi, jabatannya dialihkan untuk yang lain karena mengikuti peraturan sekolah. Di sekolah ini, anak-anak kelas XII tidak diizinkan untuk terlalu tenggelam dalam organisasi ataupun ekstrakurikurel, apalagi sudah masuk semester akhir begini. Kami harus menghabiskan banyak waktu untuk fokus belajar, ada les tambahan untuk persiapan ujian juga. 

Rava juga bukan tipe laki-laki yang banyak tingkah, caranya berseragam mengikuti standar peraturan. Kalau soal terlambat, jelas bukan Rava sekali. Karena selama ini dia disiplin waktu, malah selama ini Rava yang sering menunggu aku karena lama bersiap-siap. Soal pelajaran, Rava tidak begitu pintar, dia masih sering bertanya tentang soal yang kurang dimengerti kepadaku. Namun keinginannya untuk belajar itu ada, ditambah catatan tulisannya rapi, membuat Rava punya nilai lebih untuk dikagumi sebagai seorang pria. 

"Dira pasti beruntung banget." timbal Dame melanjutkan kalimat sebelumnya.

Aku menghela napas, "Kita akan beruntung pada waktunya. Kita juga akan bertemu laki-laki spesial."

Neisha menimbali, "Betul! Laki-laki yang bisa buat kita bahagia."

"Laki-laki yang selalu ada buat kita." tambahku.

"Laki-laki yang menjadikan kita layaknya ratu." kata Neisha lagi.

"Laki-laki yang akan ajak kita mengenal dunia." ujarku melengkapi.

"Ya. Laki-laki itu akan datang."

"Kita hanya harus menunggu."

"Menunggu." guman Dame plean, "Sepertinya kita bukan cemburu karena Dira berhasil menarik hati Rava. Kita hanya cemburu dengan waktu Dira yang datang lebih cepat."

Dame tertawa. Aku dan Neisha meliriknya. Lalu kami bertiga tertawa bersama. Kami hanya merasa lucu. Karena tanpa sadar, kami malah memikirkan sesuatu yang terlalu jauh. Tugas kami untuk belajar saja belum selesai, tapi sudah memikirkan soal laki-laki. Seolah sudah kebelet nikah. Sebenarnya bukan, kami hanya menginginkan seseorang sebagai pemberi perhatian. Banyak belajar membuat jenuh, jadi kami hanya butuh penyemangat untuk mengembalikan kekuatan memahami materi. 

Kami mulai mencicipi makanan di depan mata. Popcorn yang nikmat, cokelat yang manis, dan bolu meranti yang lembut. Sebagai upaya timbal balik, aku yang membelikan minuman. Kami pesan jus alpukat dan lemon tea. Iya cuma dua, karena kami bisa bagi-bagi. 

Ponselku tiba-tiba berdering, jujur ini jarang sekali terjadi. Karena abang dan ayah tidak mungkin telepon, apalagi dijam sekolah. Kecuali dalam keadaan mendesak. Aku merogoh ponsel disaku untuk lihat siapa pelakunya, ternyata Zero. 

"Laki-laki tadi pagi?"

Aku mengangguk. 

"Kalian ada hubungan, ya?"

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang