Aku sampai 15 menit sebelum waktu yang ditetapkan, menggunakan kaos oblong, celana jins, dan sepatu. Penampilan yang selalu menjadi andalan setiap harinya. Karena bagiku yang terpenting adalah kenyamanan dalam berpakaian, dari pada banyak gaya tapi tidak bisa bergerak bebas. Seperti sebelum-sebelumnya, aku mengikat rambut yang panjangnya sebentar lagi sampai pinggang.
Karyawan yang lain menyapa dengan hangat, terutama dia. Ternyata disini pekerjanya lumayan banyak. Kafe sudah buka dari pukul 15.00 wib, cuma karena aku kerjanya paruh waktu jadi tidak ikut dari awal. Beberapa pembeli juga sudah berdatangan, tapi tidak seramai ketika aku datang kemarin.
"Selamat bergabung di kafe kita!" ujarnya sambil menyerahkan apron. Aku hendak pakai sendiri, tapi dia justru bantu aku mengikatnya dari belakang tanpa diminta.
"Terima kasih. Ibu Flo mana?" tanyaku karena sejak tadi tidak melihatnya. Bagian kasir juga tadi diisi sama karyawan lain.
"Mama aku?"
Aku mengangguk.
"Mama kamu juga?"
Aku menggeleng.
"Oiya, belum, ya."
Aku tersenyum padahal lagi mau serius. Tatapanku tertuju untuk karyawan lain yang juga lagi bersama kami, seorang pria yang badannya berisi padat. Sengaja tidak mau manatap mata Zero, tidak berani.
"Mama itu datangnya gak setiap hari. Sekali-sekali saja untuk mengecek. Yang pegang seluruh kendali itu om Bagas. Ini kenalin." jelasnya.
Aku mengulurkan tangan, langsung dibalas sama pria yang sejak tadi aku pandangi. Kalau tau begini, aku juga tidak berani memandangnya sejak tadi. Masa sama manajer kafe, aku melihatnya seperti menantang bukannya menunduk?
"Panggil saja om Bagas."
"Asha, Om. Pakai H! A.S.H.A."
Zero dan Om Bagas tertawa. Caraku mengenalkan diri memang terlalu berlebihan, tapi itu yang aku suka. Supaya orang-orang tau sisi unik dari namaku. Biar ayah selaku orang yang kasih nama, juga bangga kalau namaku dikenal dengan susunan huruf yang benar.
"Oke Asha, pakai H. Selamat bergabung. Sudah siap tempur?"
Aku tersenyum, sambutan om Bagas ramah dan hangat. Tidak seperti wajahnya yang kelihatan muram dan seram. Kumisnya yang tegas memberi kesan garang. Ternyata melihat orang dari tampilannya saja adalah sesuatu yang tidak baik. Karena bisa membuat kita jadi berprasangka buruk.
"Aku tinggal, ya. Tugas kamu, om Bagas yang jelasin dan ajarin."
Aku mengangguk lalu dia pergi ke tempatnya bertugas. Ya, bercengkrama dengan alat-alat membuat kopi.
Om Bagas mulai beranjak ke dapur, aku mengikuti pergerakkannya seperti yang di perintahkan. "Kamu punya pengalaman bekerja?"
"Belum ada. Ini yang pertama, om."
Om Bagas mengangguk, mengambil nampan nganggur yang tergeletak di meja. "Teman sekolah Zero?"
Aku menggeleng, "Bukan. Kami bertemu di bus, om."
Ekspresi om Bagas terlihat terkejut tidak percaya. Dia pasti tidak menduganya, sama, aku juga. Bertemu dengan orang baru memang tidak pernah mengenal tempat. Begitu juga dengan perpisahannya.
"Untuk sekarang, tugas kamu bersihkan meja pembeli yang sudah selesai saja. Saya belum berani lepas kamu melayani pesanan pembeli langsung."
Aku mengangguk setuju. Karena aku sendiri juga akan grogi kalau untuk terjun langsung bicara sama pembeli. Aku juga belum tau menu apa saja yang tersedia disini. Cara bicaraku juga nanti masih kaku, pembeli jadi tidak semangat untuk pesan. Setidaknya aku bisa mulai dari yang hal kecil dulu. Siapa tau perlahan aku bisa menempati chef dapurnya? Baru setelah pandai, aku buka usaha kafe sendiri. Hehehe. Aku berkhayal terlalu jauh.
![](https://img.wattpad.com/cover/283012426-288-k443819.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Teen FictionAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...