Bimbel

38 3 0
                                    

Hari berikutnya berjalan lebih tenang, aku pergi sekolah bersama Zero lagi. Aku tidak memintanya tapi Zero yang menginginkan. Hubungan aku dengan Rava mulai berjarak, tidak sedekat dan semanis dulu. Rasanya kami bukan lagi sepasang sehabat yang selalu bersama, karena sekarang Rava lebih sering menghabiskan waktunya bersama Dira. Tidak masalah, yang terpenting sekarang aku sudah merelakannya. Meski kadang di beberapa waktu aku suka memikirkannya. Yah, aku tidak bisa menangkal kenyataan itu. 

Rava menghampiri ketika aku baru sampai di kelas, Neisha dan Dame belum kelihatan batang hidungnya. Sengaja aku minta Zero datang lebih cepat kalau mau antar aku pergi sekolah, biar dia juga tidak terlambat ke sekolahnya. Jadi sekarang suasana kelas masih sepi. Hanya ada aku, Rava, dan 3 orang lainnya. 

 Rava duduk pada kursi kosong dihadapanku masih dengan menggandeng tas ransel, biasa kursi itu Dame yang mengisi. Rava duduk membelakangi papan tulis, jadi wajahnya mengarah tepat di depanku. 

"Apa?" tanyaku langsung.

"Pergi sama siapa?"

"Zero."

"Laki-laki yang kemarin itu?"

"Namanya Zero." terangku memperjelas.

"Iya, tau."

Aku membuang pandangan ke arah meja, bicara sama Rava sekarang tidak seasyik dulu. Terasa seperti orang asing yang baru bertemu 3 sampai 5 kali. Padahal kenyataannya kami sudah berteman lama semenjak SMP.

"Dia suka sama kamu, kan?"

Aku diam sebentar, entah apa maksud Rava mengungkit soal itu. "Gak tau. Mungkin iya."

"Dia belum bilang?"

Sekarang aku balas memandang wajah Rava. "Udah sering."

"Kamu gak suka sama dia?"

Aku menggertakkan gigi, rasanya kesal karena Rava bertanya seperti itu. Memangnya kalau aku suka ataupun tidak, dia mau mengurusi soal perasaanku? Bahkan, dia saja mengabaikan perasaanku untuknya. 

"Doain aja yang terbaik. Sama seperti aku berdoa untuk hubunganmu dengan Dira." balasku agak munafik. Karena sebenarnya aku tidak pernah mendoakan hubungan Rava dan Dira dengan yang baik-baik. 

Rava mengangguk, lalu menarik ujung hidungku. "Udah dewasa anak kecil satu ini rupanya!"

Aku mendengus, lalu mengusap hidung dengan ekspresi yang agak kesal. "Memangnya kamu aja yang bisa dewasa?"

Rava tertawa. "Jadi kapan kita makan nasi bungkus sama pisang coklat keju lagi?"

Aku tersenyum getir, "Wisata masa lalu?"

"Kamu udah anggap aku masa lalu?" Rava berdecak tidak terima, "Padahal kita belum berpisah!"

"Bercanda!" seruku, "Sekarang kamu yang bisanya kapan? Izin dulu sama Dira, nanti dikira aku macam-macam sama kamu!"

Sesungguhnya memang begitu, perjalanan bersama Rava sudak aku jadikan sebagai masa lalu. Karena aku sudah punya perjalanan baru, dengan seseorang yang belum bisa aku pamerkan pada dunia. Aku hanya tidak ingin menjadikan Zero sebagai pelarian dari kisah masa lalu yang belum selesai, jadi aku harus menamatkannya dulu. Tapi berbeda dengan Rava, semua berjalan dengan mudah baginya. Rava tidak memiliki perasaan untukku, jadi semua akan baik-baik saja dan tidak mengganggu ketenangannya. Karena hati Rava sudah diserahkan seluruhnya untuk Dira. 

Sesungguhnya cukup sulit untuk berpura-pura terlihat baik-baik saja seperti sekarang ini. Hanya saja memang tidak semua perasaan bisa diungkapkan, karena sebagiannya lagi lebih baik dipendam dan disimpan sendirian, lalu dibiarkan menghilang seiring berjalannya waktu. Sama seperti perasaan punyaku. 

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang