Pulang dari bukit hijau, Zero mengajak aku ke rumahnya. Hanya sebentar katanya, tapi sama saja, aku tidak yakin untuk pergi. Sebentarnya Zero bisa menghabiskan waktu sampai 2 jam kalau bersamaku.
"Ayah sama abang taunya aku pergi kerja, Zer."
Zero menepikan laju motornya, kami berhenti setelah melewati simpang lampu merah. Lalu lintas tidak begitu padat namun tidak bisa dibilang sepi juga. Perpaduan kendaraan dari yang kecil sampai besar berurutan mengisi aspal abu-abu bumi.
"Telepon abang dulu, kasih kabar."
Aku diam sejenak, tidak mengira kalau Zero punya alternatif cara lain supaya aku bisa ke rumahnya. Padahal kalau mau, bisa saja aku langsung pergi dan tidak perlu repot-repot minta izin. Karena alasan utama aku menolak permintaan Zero sebenarnya adalah canggung. Masih ada perasaan tidak enakan untuk berkunjung ke rumah Zero. Antusias keluarga Zero menyambutku terbilang sempurna, terbukti dari deretan menu yang mamanya siapkan ketika aku makan siang di rumahnya waktu itu. Mulai dari menu utama sampai menu penutup dan cuci mulut tersaji komplit. Rasanya terlalu menyenangkan tapi aku belum bisa menerimanya dengan penuh.
"Sebentar." kataku mulai mengetik nama abang di ponsel, mau menelepon.
"Kalau gak dikasih izin, aku yang bicara, ya?"
Aku meneguk saliva mendengar keteguhan Zero yang tidak putus asa. "Iya."
Tidak butuh waktu lama untuk abang menjawab panggilanku, sebagai upaya mempersingkat waktu, aku langsung katakan tujuan utama. Aku menyampaikan kepada abang bahwasanya aku tidak pergi bekerja hari ini, tapi ke suatu bukit bersama Zero, lalu aku juga bilang akan pulang sekitar 1 jam lagi karena akan singgah sebentar ke rumah Zero. Abang sendiri lagi bersama kak Lola, mau cari makan malam diluar. Jadi, abang tidak mempermasalahkannya dan kasih izin langsung, selama masih ingat waktu dan bisa jaga diri. Aku meminta abang buat jangan kasih tau ayah dulu, tentunya abang setuju. Penyakit jantung ayah membuat kami berdua bertindak penuh hati-hati sebelum menyampaikan sesuatu kepada ayah, jadi kami harus menyaringnya dulu supaya apa yang disampaikan tidak membuat penyakit jantung ayah kambuh. Kami berdua jadi lebih sering bekerja sama.
"Gimana?"
"Boleh, tapi pulangnya jangat sampai larut malam."
"Nah, kan. Aku bilang juga apa! Lagian selama sama aku, kamu aman. Jadi abang sama ayah gak perlu khawatir."
Aku tersenyum. Tidak hanya nyaman tapi aku juga tenang, Zer. Aku mengatakannya dari hati saja. Zero tidak bisa langsung mendengar, tapi senyumnya terukir seolah mendengar kata hatiku. Aku melihat titik kebahagian terpancar dari wajahnya. Kami kembali melanjutkan perjalanan, Zero mengendarai motor dengan santai, karena kami juga tidak sedang mengejar waktu.
Tadi waktu cerita sama Zero soal abang, tanggapannya meneduhkan. Zero mengatakan kalau badai akan berlalu. Terasa berat dan tidak mudah, tapi bisa dilewati. Perjuangan abang bukan semata untuk terlihat tangguh saja, tapi juga untuk ketenangan ayah dan aku. Seorang pria yang sedang jatuh cinta memang akan memperjuangkan cintanya, tapi tidak sampai melewatkan waktu untuk fokus pada kebahagiaan keluarga. Begitu kata Zero.
"Sha?"
Aku tersadar dari lamunan yang memikirkan tentang memori setengah jam lalu, dimana wajah Zero tersorot kilauan warna jingga. Aku bertingkah seolah tidak mau kehilangan momen itu. "Iya?"
"Gimana sama dia?"
"Dia?" kataku mengulang kalimat Zero, belum mengerti maksud pertanyaan Zero ditujukan kepada siapa.
"Ravael."
"Ooo, Rava. Gak gimana-gimana. Kami baik."
Sejujurnya aku menyadari keanehan, tadi siang baru saja Rava bertanya soal hubunganku dengan Zero, sekarang giliran Zero yang bertanya hubungan aku dengan Rava. Seolah mereka punya ikatan batin untuk mempertanyaan hal yang sama dalam waktu yang berdekatan. Sebenarnya tidak ada masalah, hanya saja rasanya terlalu mengejutkan. Seolah mereka berdua mengkhawatirkan sesuatu yang sama tapi dalam konteks yang berbeda.

KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Roman pour AdolescentsAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...