Pahit

58 6 0
                                    

Aku lagi-lagi pergi meninggalkan ayah bersama bi Tami, teman ayah sudah pamit pulang. Sebelum pergi aku menyempatkan diri untuk menyajikan makan siang ayah dan obat yang harus diminum rutin selama masa pemulihan. Seperti biasa, aku juga tidak lupa buat mengingatkan ayah supaya selalu berhati-hati dan jangan terlalu banyak bergerak. Lebih baik kalau ayah istirahat saja di kamar, begitu kataku. 

Sekarang aku dan Zero berada di warung bakso yang kemarin hanya kami singgahi sebentar tanpa menyapa. Seorang anak muda mendatangi meja kami untuk melayani, kalau dilihat dari wajahnya laki-laki ini seperti baru tamat sekolah. Senyumnya mengembang sebesar bunga mawar mekar, meletakkan daftar menu, selembar kertas mini, dan pulpen ditengah meja yang kami tempati.

"Pesanannya di tulis aja ya, nanti kalau sudah siap panggil saya." katanya lalu beranjak pergi untuk melakukan pekerjaan lain. 

"Kamu mau makan apa?" tanya Zero sambil meraih kertas, tapi aku berhasil lebih dulu. 

"Biar aku aja."

Zero tersenyum, kejahilannya untuk menggoda mulai kelihatan. 

"Kamu mau makan apa?" tanyaku seolah mengulang kalimat Zero yang sebelumnya. 

"Mie ayam telur."

"Gak bakso?"

"Aku tim mie ayam." 

Mendapat jawaban Zero membuatku tersenyum. Aneh memang. Tanpa tau alasannya apa, tapi yang pasti aku senang bisa lebih tau soal kesukaannya. 

"Kok senyum-senyum?"

"Tidak ada. Minumnya apa?" 

"Es jeruk." jawabnya lagi tanpa melihat daftar menu.

Aku mengangguk, lalu menuliskannya. Setelah itu aku melirik daftar menu, lalu aku tulis makanan dan minuman yang aku mau.

"Tidak ada lagi kan?" tanyaku pada Zero, memastikan. Mana tau ada pesanan tambahan darinya seperti sate tusuk, keripik, atau sebagainya. 

"Punya kamu udah?" 

Aku mengangguk.

"Coba lihat." Zero mengambil alih kertas yang berada dalam genggamanku. 

"Untuk apa?"

"Masa cuma kamu yang tau makanan kesukaanku. Aku juga mau tau tentangmu." 

Aku tertawa mendengarnya, "Kalau soal makanan kamu gak perlu tau. Karena aku suka semuanya!"

"Jadi pisang coklat keju dan nasi bungkus dekat sekolah gimana?"

"Hah?" ujarku terkesiap, kaget kalau Zero ternyata bisa tau sampai kesana juga. "Kamu tau dari mana soal itu?"

"Ravael."

"Sungguh? Kamu tadi bicara apa aja sama dia, sih?"

"Cuma tanya makanan kesukaanmu."

"Terus?"

"Bilang kalau aku suka kamu."

"Terus?"

"Bilang kalau mulai sekarang jatah main dia sama kamu untuk aku."

Aku menghela napas, pantas ekspresi Rava berubah tadi. 

"Lagian dia kan sudah punya cewek. Jadi kamu buat aku aja."

 "Kamu aneh Zero." kataku. Cuma kalimat itu yang bisa keluar dari bibir sekarang. Tak ada lagi. Zero terlalu banyak cara untuk aku yang lebih suka memendam sendirian.

Zero hanya tersenyum lalu memanggil karyawan. Memberikan kertas, tapi bukan Zero namanya kalau gak punya banyak kelakuan. "Bagus kan tulisan tangannya bang?" 

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang