Rava langsung menghampiri aku begitu kembali dari rumah Dira, dia duduk di kursi kosong sampingku. Tante Rene sudah kembali ke halaman depan, bi Sisi di kamar art, sedang mba Tasya sedang berbincang dengan para tamu yang merupakan sanak saudara.
"Kerja dimana?"
Aku memutar bola mata, mengelap air bekas cuci tangan dengan tisu karena baru selesai makan. Baru datang, tapi pertanyaan Zero langsung menuju kesana. "Kafe Kita, punya mamanya Zero."
"Anak yang tadi siang?"
"Namanya Zero." kataku memperjelas.
"Kenapa gak cerita sama aku?"
Aku menaikkan bahu acuh, mau bilang begini, "Kamu kan sibuk sama Dira." tapi gak berani. Jadi aku memilih untuk diam saja.
"Kenapa kerja? Dia yang suruh?"
"Gak lah!" tolakku langsung, aku menyeruput es timun serut yang tinggal tersisa sedikit. "Aku yang mau."
"Gak bilang sama aku!"
"Aku cuma mau bantu abang. Masalah keuangan kami sedang tidak baik."
Rava menatapku, tapi aku belum berani membalasnya. Mendengar jawabanku sepertinya membuat Rava jadi tidak enak karena sudah sembarangan menuduh. "Maaf. Aku tidak mendampingimu di masa-masa sulit."
Aku memukul lengannya, membuat Rava sedikit mangaduh. "Jangan minta maaf! Wajahmu gak cocok kalau lagi melas begitu!"
"Aku gak tau apa yang terjadi padamu, padahal kita sahabatan."
Aku memukulnya sekali lagi. "Itu makanya, aku menyesal karena punya sahabat jelek sepertimu!"
Kami tertawa bersama. Sesungguhnya tidak mudah bagiku untuk mencairkan suasana. Mendengar Rava bicara serius dengan raut wajahnya yang tegas, menyadarkan bahwa aku masih punya sisa perasaan untuknya. Aku tidak mau memperumit keadaan. Rava adalah sahabatku, Dira adalah pacar Rava. Mungkin memang jalan yang baik begitu. Jadi aku harus menerimanya. Aku harus membuang sisa perasaan untuknya dan melanjutkan hubungan kami yang hanya sebatas sahabat.
Rava mengambil sepiring kue brownies mini yang berada dalam cup kertas, meletakkannya tepat dihadapanku. Aku mengambil satu, sedang Rava sudah makan kuenya untuk yang kedua. Rava memang paling cepat menghabiskan makanan. Kalau aku baru menghabiskan setengah nasi bungkus, Rava justru sudah menyelesaikan makannya. Ibaratnya aku baru mendayung sekali, Rava justru sudah mau sampai tepi.
"Kamu belum pernah pacaran."
Aku mendelik mendengar pernyataannya, entah apa yang berada dalam pikiran Rava sampai tiba-tiba mengangkat topik pembicaraan tersebut. "Aku tidak punya waktu melakukannya!"
"Kamu punya waktu banyak, hanya saja menyia-nyiakannya."
"Aku tidak menyia-nyiakan waktu, Rav. Aku sudah menyisihkan waktu, tapi untuk makanan, bukan pacar."
Rava memperlihatkan wajah tidak senang mendengar alasanku. "Kamu pernah jatuh cinta?"
Mendadak jantungku berdetak tidak lazim. "Kamu pikir aku tidak punya hati?"
Rava menganggukkan kepalanya, "Aku lupa kalau kamu manusia."
Aku tersenyum, lalu memukul lengannya lagi. Kami tertawa bersama.
*
Aku menghempaskan tubuh ke kasur, sudah membersihkan diri dan mengganti baju dengan piyama polos warna coklat. Perutku sudah kenyang, rasanya aku akan tidur dengan nyenyak malam ini. Pulang dari rumah Rava tadi, selain perut terisi, kami juga dibawakan makanan. Tante Rene itu suka memasak, jadi tidak heran kalau di rumah Rava selalu tersaji banyak makanan. Apalagi soal kue, tante Rene suka berkreasi di dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Fiksi RemajaAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...