Warung Bakso

34 5 0
                                    

Zero datang. Zero menjemputku. Sama seperti sebelumnya, kami berangkat kerja lebih cepat. Hanya saja yang hari ini berbeda. Aku lebih banyak diam, tidak menyambut kedatangannya dengan senang. Bahkan mungkin ayah juga menyadari perubahan wajahku yang masam, masih menyimpan kecewa. Bisa saja langsung aku tuang tanda tanya besar yang ada dikepala untuk mendapat jawaban dari Zero, tapi kesehatan ayah jauh lebih penting dari pada urusan hatiku sendiri. Aku tidak mau ayah turut mengkhawatirkan. Biar ayah merasa tenang dan sehat saja. Ayah tidak perlu turut bingung sama masalah yang sedang aku hadapi.

Ketika aku diam, Zero juga diam. Seolah dia mengerti suasana, tidak mau membuatnya jadi ricuh. Zero membawakan jeruk kimkit, ayah mengucapkan terima kasih dan meminta Zero untuk usah terlalu repot. Membalasnya, Zero hanya tersenyum sambil mendoakan semoga ayah cepat pulih.

Zero menghentikan motornya dipinggir jalan, kami sekarang berada di warung bakso. Masih dengan keheningan yang mengisi suasana, karena sejak tadi kami berdua memilih diam dengan pikiran masing-masing dikepala.

"Aku gak mau makan bakso, kita langsung ke tempat kerja saja!"

Zero turun dari motor tanpa menggubris permintaanku, membuka helm, lalu matanya yang setajam elang menancap pandanganku. 

"Asha, masalah yang kecil itu bisa jadi besar kalau tidak dibicarakan. Kalau sedang ada masalah, harusnya kita bicarakan baik-baik biar tidak memutuskan hubungan."

"Hubungan kita sudah selesai."

"Selesai apanya? Bahkan kita belum memulainya, Sha."

"Selesai sebelum sempat dimulai." Aku turun dari motor sambil menahan amarah supaya bicaranya tidak terlalu keras, padahal sekarang amarahku memang mau meledak. Berantam dipinggir jalan adalah suatu keburukan bagiku, tidak mau kalau didengar orang lain. "Ini kali terakhir kita pergi bersama. Kali terakhir juga kamu kirimin aku sesuatu."

Zero menggeleng. "Aku gak mau. Perpisahan itu berasal dari persetujuan dua orang. Kalau aku gak setuju, berarti hubungan kita masih berlanjut."

"Kamu itu egois Zero!"

"Seharusnya aku yang bilang begitu, Asha." ujar Zero tetap dalam keadaan tenang, aku tau kalau dia sedang mengendalikan emosi, tidak mau semua malah berujung semakin berantakan.

Zero tersenyum, "Kita selesaikan masalahnya dengan baik. Kita masuk, makan, sambil bicara dari hati ke hati."

"Kenapa aku harus nurut? Aku tetap gak mau."

"Aku gak minta kamu nurut, Sha. Tapi setuju. Kalau kamu nurut tapi hatimu tertinggal jauh, masalah kita gak akan selesai-selesai."

"Pintar ya kamu?" Mataku mulai berair mendapati ketenangan Zero dalam menghadapi masalah, menghadirkan rasa bersalah dihatiku. Membuat posisiku terasa terpojok karena memberlakukan Zero dengan tidak baik, seolah aku yang salah disini karena menuruti ego. Sedang Zero masih dengan ketenangannya.

"Kamu pikir aku bisa makan bakso berdua sama orang yang sudah punya pacar? Kamu kira aku wanita seperti apa?"

 "Ela?"

Aku tidak menjawab, tidak juga mengangguk. Biar Zero jawab sendiri. Biar dia tau diri. Seenaknya mendekati wanita lain padahal ada hati yang seharusnya dia jaga. 

"Kita ke tempat dia, ya?"

Aku menggeleng, gak habis pikir sama cara berpikirnya Zero. Dia memang laki-laki aneh.

"Biar semua jelas, Asha." tambahnya.

"Jelas kalau aku cuma tempat singgah aja?"

Zero memberikan helm yang tadinya aku letakkan di atas motor dengan tidak senang, "Aku minta waktu kamu sebentar saja. Kita bertemu sama Ela. Kalau sudah, aku biarkan kamu bebas dengan pilihanmu. Mau minta aku pergi atau bertahan."

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang