Setelah selesai siap-siap, aku langsung keluar rumah karena jam sudah menunjukkan pukul 16.21 wib. Tidak ada waktu untuk melenggang malas-malasan. Hanya mengenakan kaos oblong warna hijau army dan celana jeans hitam semata kaki. Ketika aku keluar, Zero sudah mengobati lukanya, mengikuti ucapanku. Dahinya juga tidak lagi ditutup-tutupin, dibiarkan rambutnya bergerak bebas seperti biasa.
"Tadi aku bertengkar."
Aku menatap Zero dengan lekat, laki-laki di hadapanku ini akhirnya mengungkapkan kebenarannya juga.
"Menang?"
"Lumayan. Aku cuma kena serang disini." Zero menunjuk dahinya, sambil menitipkan senyum manis diwajahnya.
"Padahal kalau kamu jujur lebih awal, aku yang obatin luka kamu!"
"Yaaa!" Zero kecewa, "Aku buka lagi, ya?"
"Sekarang udah gak berlaku."
Zero maju selangkah, membuat jarak kami lebih dekat. "Kamu gak marah lagi, kan?"
"Hari ini, rasanya hariku berjalan tidak baik, Zer."
"Bukannya membantu, aku malah menambahnya. Maaf."
Aku menggeleng, "Tidak masalah."
Tidak ada alasan untuk aku tetap marah atau mendiamkannya. Zero sudah berkata jujur, dan itu adalah poin penting yang bernilai tinggi. Kejujuran itu hal paling berharga, karena tidak semua orang bisa mengucapkannya. Zero sudah dewasa, dia akan bisa membedakan mana hal baik yang pantas untuk dilakukan atau hal buruk yang cocok untuk ditinggalkan. Zero tidak akan menempatkan dirinya pada hal yang merugikan, tapi Zero bisa saja kehilangan kendali. Sebagai Asha, aku hanya bisa mengingatkannya. Karena keputusan selanjutnya ada ditangan Zero. Aku tidak mau mencampurinya, apalagi bersikap seolah aku adalah wanita yang melahirkannya.
Aku hanya ingin menggiring Zero, menempatkan hidupnya jauh dari hal yang mengerikan.
Perlahan tanganku terulur, menggenggam jaket kulit yang melapisi kaos hitamnya. Ini adalah kali pertama aku naik motor besarnya Zero, cukup keren tapi kurasa lebih nyaman dengan motor yang biasa kami tumpangi. Memang sesuatu yang biasa itu bisa mengambil hak kemenangan, karena kalau sesuatu itu berubah maka akan menghadirkan rasa yang berbeda. Sudah sering aku dibonceng sama Zero, tapi ini adalah kali pertama aku berpegangan dengan pinggangnya. Ada sesuatu yang mendorongku melakukannya, hari ini rasanya berjalan berat, aku hanya membaginya sedikit saja.
"Zer, aku bukan mau mengaturmu. Tapi, aku mau kamu jangan melakukan hal yang membuatmu terluka."
Zero menggenggam tanganku, lalu menariknya, membuat tubuhku dekat dengan punggungnya. Aku tersentak, perbuatannya membuat aku sedang memeluknya dari belakang. Rasa hangat tiba-tiba menjalari tubuh. Zero kasih kesempatan supaya aku merasa sedikit lebih tenang, meninggalkan segala pikiran yang sejak tadi mengisi kepala.
Tiba-tiba Zero berbelok, padahal arah kafe itu harusnya jalan terus. "Kita mau kemana?"
"Suatu tempat."
"Tapi, Zer..."
"Jangan khawatir, aku udah telpon mama."
Setelah itu aku tersenyum. Zero sungguh mampu membuat dadaku penuh dengan perasaan yang beragam, mulai dari rasa senang, kecewa, gelisah, bahkan bahagia. Zero menempatkan aku pada hal-hal baru yang belum pernah ku gapai sebelumnya. Dia melukis perjalanan dan kisah baru dengan nyata. Aku akui, aku senang. Semesta memberi Zero untukku.
*
Hampir setengah jam lamanya kami dalam perjalanan, aku bahkan tidak lagi mengenal jalan yang kami lalui. Pohon-pohon berjejer sepanjang jalan, rasa dingin mulai merayapi kulit. Sampai akhirnya Zero berhenti pada sederet motor yang juga sedang parkir, aku langsung meluruskan pinggang yang rasanya rada pegal.
![](https://img.wattpad.com/cover/283012426-288-k443819.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Teen FictionAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...