Menang

37 3 0
                                    

Aku memberikan senyum paling manis untuk Zero, membuat wajah bingungnya bergeser, perlahan menimbulkan lengkung bulan sabit yang menawan. Setelah menyebrangi kerumunan manusia, akhirnya aku sampai tepat di depan Zero.

"Itu pasukan kita, Zer!" jelasku singkat, menjawab kebingungan Zero. Sepertinya dia masih bertanya-tanya sendiri tentang apa yang sebenarnya terjadi.

"Kamu yang kumpulin?"

"Kerja sama bareng teman-teman."

"Sekarang, temanku jadi temanmu juga, ya?"

Aku tertawa kecil. Dalam keadaan yang menegangkan begini, masih ada saja caranya untuk membuatku tertawa. Padahal, aku yang harusnya menghibur Zero sekarang. 

"Biasa, kan, kamu yang jemput aku di sekolah. Sekarang gantian, Zer."

"Ngeri. Kamu sekalinya jemput, bawa rombongan banyak banget!"

Aku tertawa lagi. 

"Itu bu Jum, bukannya jualan, malah gabung di sana?" tunjuk Zero.

"Iya. Abangku juga ada di sana, loh!"

"Sungguh?"

"Abang sama teman-temannya. Itu yang pakai seragam sekolah udah dicoret-coret! Semua orang yang berada di sana, mendukungmu, Zer."

Zero semakin tersenyum, aku mendapati keteduhan dalam matanya. Kelihatan sejuk. Zero tidak lagi merasa terasingkan sendirian karena tidak mendapatkan keadilan. Menjadi pelaku atas kejadian yang tidak kita lakukan terasa seperti kutukan.

"Sekarang, ayo kita samperin guru-guru kamu!"

"Untuk apa? Gak bisa kita berdua lebih lama?"

"Zero!" aku memukulnya lengannya pelan, Zero malah tertawa. "Kita kesana buat kasih bukti nyata, kalau memang bukan kamu yang serang Rauf duluan. Jadi kamu tetap bisa jadi perwakilan sekolah untuk ikut lomba! Jangan mau nanggung semuanya sendirian. Lagian, kan, bukan kamu yang melakukannya. Kebenaran harus terungkap!" kataku tanpa jeda, Zero malah semakin tersenyum. 

"Gak salah aku jatuh cinta sama kamu, Sha."

Dasar aneh. Pipiku jadi menghangat mendapat kalimatnya, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk menikmati bunga asmara. Kami berdua segera berlari menghampiri para guru yang berada dekat dengan pasukan. Ada lebih dari sepuluh guru yang berbaris. Begitu mendapati kedatangan Zero, salah seorang guru laki-laki berkacamata yang kelihatan sebaya dengan ayah langsung melontarkan pertanyaan. 

"Ada apa ini, Zero?"

"Bukti. Kalau saya tidak bersalah pak. Bukankah itu yang bapak inginkan?"

"Kalau cuma buat ngumpulin orang-orang begini buat cari pembenaran, anak sd juga bisa, Zero!"

Aku tertohok mendengarnya. Ada kemarahan tapi aku pilih untuk dipendam saja. Dengan keberanian yang tiba-tiba muncul dari dalam diri, aku melangkah maju mendekati. "Kami bukan cari pembenaran, tapi cari keadilan, pak."

"Yang salah tetap salah. Memangnya, ada keadilan buat orang yang salah?"

"Seharusnya saya yang tanya. Memangnya pantas ada kemenangan untuk seorang pembohong?"

Bapak laki-laki itu kelihatan kesal, menggertakkan rahangnya hingga rapat. Zero mendekat dan menggenggam tanganku. Tanpa bicara, aku bisa merasakan aliran kesabaran ditransfer Zero untukku.

"Biar saksi mata yang bicara!" seruku lalu meminta Dewa mendekat. Pasukan kami yang terus berteriak Zero tidak bersalah secara serempak, mendadak diam mengikuti arahan. 

Menggunakan toanya, Dewa menceritakan kejadian yang sebenarnya. Secara terperinci mulai dari awal sampai akhir. Tidak ada bagian yang ditambahkan apalagi dikurangi. Untuk memperkuatnya, kami juga menyertakan gambar ilustrasi yang sudah di siapkan sejak awal. 

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang