Kafe Kita

82 6 0
                                    

Menuju pukul lima bang Pratama kembali ke rumah sakit, bang Toni dan bang Ridwan juga ikut. Mereka membawa buah, datang mengunjungi ayah. Aku dan ayah baru saja kembali dari taman, keliling sebentar biar ayah gak merasa jenuh. kehidupan di rumah sakit rupanya cukup membosankan dan tentu saja menyakitkan. Setiap waktu aku mendengar dan melihat wajah orang yang merintih menahan sakit. Aku tersenyum setiap kali papasan sama dokter, mereka itu orang hebat titipan Tuhan untuk bumi. Karena mereka adalah perantara yang membuat orang sakit bisa sembuh. Mereka itu pahlawan kesehatan.

Aku izin keluar setelah lima menit dengar mereka berbincang, mendoakan ayah semoga cepat sembuh biar bisa bekerja lagi. Katanya bengkel jadi sepi dan tidak hidup kalau tidak ada ayah. Bang Pratama awalnya menolak kepergianku, tapi mana bisa aku berdiam diri sedangkan dia berjuang sendirian. Dia masih saja bertanya aku mau kemana dan aku masih saja bohong.

Kalau aku bilang mau keluar cari kerja paruh waktu, abang pasti tidak akan mengizinkan.

Tapi aku gak mau bohong terus-terusan, bisa-bisa semesta marah dan tidak berpihak kepada ku. Jadi setelah jalan kira-kira sejauh tujuh meter dari rumah sakit, aku mengirimkan pesan untuk abang.

"Aku keluar buat cari kerja paruh waktu. Doain."

Belum sempat satu menit, aku lihat Abang sudah mengetik. Dalam hitungan tepat satu menit, balasan pesan darinya masuk.

"Ngapain? Buat apa?"

"Buat ayah."

Dia langsung mengetik lagi, sepertinya dia tidak keluar dari ruang chat kami.

"Balik kamu. Gausa kerja (emotikon marah)."

"Enak aja abang berjuang sendirian. Aku juga mau berguna buat ayah. Aku juga mau masuk surga (emotikon mengejek)."

Setelah itu bang Pratama menelepon, aku menolak. Di telepon lagi, aku tolak lagi. Habis itu aku matikan ponsel. Biar saja dia emosi disana. Kadang untuk sesuatu yang baik kita memang harus berani.

"Maaf ya bang." batinku lalu lanjut melihat setiap toko, menaruh harapan semoga ada yang di depannya tertempel lowongan pekerjaan.



*



Aku menghela napas, sudah hampir satu jam berjalan tapi tidak menemukan hasil. Aku jadi kayak orang yang baru lulus sekolah dan sibuk cari pekerjaan sana sini. Memang menjadi tambah dewasa tidak mudah. Belajar mengenal dunia lebih luas juga tidak seperti ekspetasi. Sulit-sulit payah. Pantas saja bang Pratama minta aku balik.

Aku menghampiri warung seberang jalan yang di depannya ada kulkas. Tergoda sama deretan air mineral yang kelihatan segar. Rasanya energi dan tenagaku nyaris habis. Aku butuh asupan air biar bisa lanjut berjuang.

Setelah membayar, aku mendudukkan diri pada bangku yang tersedia di warung itu dan langsung minum. Cuma butuh sepuluh detik, air mineral dalam botol sudah habis setengah. Rasanya sangat segar. Seperti baru buka puasa. Dahaga ku hanyut dan sirna dalam sekejap.

"Capai dek?" tanya ibu-ibu pemilik warung yang bisa melihat aku dari dalam warung, karena diantara kami hanya ada steling yang menjadi pembatas. Mungkin dia menyaksikan pergerakkan ku sejak tadi.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Baru pulang kerja?" tanyanya lagi.

"Saya masih sekolah dan lagi cari kerja paruh waktu, bu."

Ibu itu terlihat tidak percaya. Mendengar jawaban ku dia langsung keluar dari warung dan langsung menghampiri. "Kebetulan! Kenapa gak bilang dari tadi?"

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang