LDR?

31 3 0
                                    

Setelah seharian menjelajah Jakarta, akhirnya aku kembali ke rumah sekitar jam 20.28 wib. Tidak ada lelah yang menghampiri tubuh, justru aku merasa masih segar seperti baru bangun tidur. Hal baru mulai dilakukan Zero, sebenarnya sudah lama dia ingin melakukannya, yaitu mengenakan helm untukku. Dia tidak berhenti membuat jantungku berdebar menekan kesenangan. Aku merasa jadi manusia paling bahagia hari ini, besok, atau bahkan selamanya. Yang penting sama Zero. 

Aku bergerak ke kamar bang Pratama, ternyata dia sedang bicara dengan kak Lola lewat telepon vidio. Kedatangan aku mengganggu mereka, tapi aku tidak perduli. 

"Martabak dari Zero." kataku meletakkan sebungkus martabak coklat di meja mini samping kasur abang. Meja ini buatan abang dan ayah sekitar dua tahun lalu pada hari minggu, mereka membuatnya dengan alasan supaya lebih hemat. Bahan-bahannya mereka beli di panglong, sebagian kayu yang menjadi kaki meja mereka beli dari teman ayah dengan harga yang sangat miring, katanya bekas tapi masih bagus. Untuk membuat penampilannya jadi lebih indah, mereka menyapu permukaan meja dengan cat berwarna putih bersih. Beberapa meja yang ada di bengkel juga mereka buat sendiri sesuai dengan kapasitas ukurannya yang dibutuhkan. Abang dan ayah memang cocok dalam segala hal. Kadang-kadang aku suka cemburu dengan memikirkan kalau saja ibu masih dikasih kesempatan buat hidup, tapi aku langsung cepat-cepat menangkisnya. Takdir sudah ditetapkan, maka kami harus terima dengan lapang dada supaya ibu tenang dan senang.

"Biar gak dimarahin?"

Aku mendengus kesal mendengarnya, padahal tau abang lagi bercanda. "Ayah sudah tidur?" tanyaku mengalihkan topik.

"Gak tau. Tadi selesai makan langsung masuk kamar."

"Obat?"

"Sudah. Aman." 

"Besok jadwal ayah periksa, kan?"

Abang hanya mengangguk, matanya tidak lepas dari ponsel yang memperlihatkan kak Lola tengah membersihkan wajah. Kelakuan mereka berdua mengalahkan anak remaja yang sedang mabuk asmara. 

"Aku jadian sama Zero."

Akhirnya kalimat itu berhasil mengalihkan pandangan abang, kak Lola juga kelihatan turut menoleh, menghentikan kegiatannya menyapu wajah dengan tisu. 

"Apa?" tanyaku menantang karena abang memandangi dari ujung kepala sampai bawah kaki tanpa bersuara, seperti tidak senang tapi tidak bisa menentang. "Dulu juga waktu remaja abang pacaran, kan?"

"Udah tau."

Ekspresi kesalku berubah jadi heran dalam satu detik. "Udah tau?"

"Waktu Zero minta izin kalian akan pulang terlambat, dia juga kasih tau kalau kalian baru saja jadian."

Sekarang aku yang terdiam, mendekati abang, lalu memandang wajahnya dengan lekat. "Terus abang bilang apa?"

"Awalnya gak kasih izin. Anak sekolah pulang malam-malam padahal gak ikut organisasi apapun!" jawab abang enteng, menaikkan bahunya acuh lalu matanya kembali pada kak Lola. Seolah percakapan kami ini tidak ada pentingnya dibandingkan dengan kesibukan kak Lola yang kembali melanjutkan aksi bersih-bersihnya. 

Aku berdecak agak kesal. Padahal waktu sekolah dulu, aku yang selalu bantu abang supaya ayah jangan marah-marah kalau abang pulangnya malam. Dia juga tidak aktif organisasi, hanya osis, itu juga untuk membuat namanya bersinar saja. Tidak berpatisipasi dalam setiap kegiatan karena lebih sering bolos dengan alasan rapat osis. Masih mending aku dong! Aku memberikan tatapan sinis untuknya sebentar. 

"Terus kenapa dikasih?" tanyaku sekali lagi. Tadi waktu minta izin memang Zero yang bicara, aku tidak turut mendengarkan karena sibuk memperhatikan lalu-lalang kendaraan waktu kami sudah menjauh sedikit dari warung bakso. 

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang