Rumah Zero

57 6 0
                                        

Sejujurnya ini terlalu cepat, tapi bukan Zero namanya kalau tidak banyak ulah. Hari ini aku dibawa Zero ketemu sama mamanya, ibu Flo. Padahal baru semalam kami bicarakan. Dia tidak asal bicara, dia benar-benar membawaku waktu makan siang. Jadinya aku tidak makan di rumah lagi.

Hari ini ayah sudah mulai pergi ke bengkel, katanya sudah bosen di rumah terus. Tapi ayah tidak kerja langsung, ayah hanya memeriksa keadaan sambil lihat-lihat saja. Hitung-hitung melepas bosan karena dikurung sama anak-anaknya di rumah terus, hehe.

Bi Tami sendirian di rumah, aku minta bi Tami untuk langsung pulang saja kalau pekerjaannya sudah selesai. Untung sudah lama kunci rumah di duplikat sampai empat, jadi kami masing-masing punya satu. Begitu percayanya kami dengan bi Tami, menganggapnya sebagai seorang ibu.

"Aku deg-degan!"

Zero tertawa mendengar pengakuanku yang kelewat jujur. "Mama gak suka makan orang, kok."

"Kalau suka makan orang, kamu gak ada di dunia ini."

"Udah habis dimakan?"

Aku tertawa, "Iya."

"Aku gak bakal dimakan, Sha. Mama, kan, sayang sama aku."

"Iya juga ya?"

"Iya. Sama kayak aku sayang sama kamu."

Aku tersenyum, Zero memang pandai mengambil kesempatan untuk menggodaku.

Hari ini matahari bersinar ceria, cuacanya cukup panas. Jalanan yang kami lintasi disorot cahaya dengan terang. Kalau berjalan tanpa alas kaki di atas aspal, pasti tidak bisa bertahan lebih dari 5 menit. Meskipun terik, tapi aku tidak merasa gerah. Jantungku terasa berdetak lebih cepat sehingga tidak merasakan hal lain. Jalanan agak lenggang, jadi kami lebih cepat sampai di rumah Zero.

Baru melihat gerbang rumah Zero yang menjulang saja, aku sudah terpesona, berkesimpulan kalau dalamnya pasti mewah. Sepertinya Zero bukan dari keluarga sederhana seperti yang aku bayangkan. Seorang satpam membukakan gerbang untuk kami, tersenyum lebar menyambut kedatangan Zero.

"Teman, den?"

Zero melihat padaku yang masih duduk aman di jok belakang, "Iya." katanya, "Teman tapi mesra, pak." timbalnya.

Bapak satpam tertawa, aku tersipu malu. Kami langsung membelah jalan menuju garasi rumah Zero, halaman rumahnya mungkin 5 kali lebih lebar dari rumahku. Rumah Zero membawa nuansa alam, hijau dan asri. Banyak tanaman segar yang berjejer mengisi halaman, terutama bunga matahari yang sedang mekar di bagian kanan, membuat mataku tergoda. Melihatnya saja aku sudah merasa nyaman.

Sampai di garasi, kami mendapati seorang pria yang sedang menghidupkan motor besar. Warnanya hitam mengkilap, bodinya mulus seperti sangat dijaga. Zero turun dari motor dan langsung menghampiri pria tersebut, aku mengikutinya dibelakang.

"Mau kemana?"

"Pinjam dek, mobil aku lagi di bengkel."

Ternyata abang Zero. Tapi yang buat aku kaget ketika abangnya mengatakan kata pinjam, itu berarti motor besar yang sedang ditumpanginya adalah milik Zero.

"Bengkel mana?"

"Bengkel pratama, di jalan mahkota. Sesuai permintaan."

Zero tersenyum senang, ternyata dia tidak main-main waktu bilang akan minta mama dan papanya pindah bengkel. Ternyata dia juga minta abangnya untuk melakukan hal yang sama. Bang Pratama pasti senang karena pelanggannya jadi bertambah.

"Ini adiknya yang punya bengkel."

Aku tersenyum sambil sedikit menunduk, agak bangga karena Zero memperkenalkan aku sebagai adiknya bang Pratama.

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang