Es Kolding

55 5 0
                                    

Aku dan Zero langsung pergi setelah pamit sama ayah, awalnya aku mau tunggu sampai abang pulang dulu baru pergi, tapi kata ayah tidak masalah. Lagian bi Tami juga belum pulang, jadi kalau mau apa-apa ayah bisa tinggal bilang. 

"Udah makan belum?" tanya Zero ketika kami sudah melesat meninggalkan gang rumahku, namanya gang mangga. Padahal tidak banyak pohon mangga di dalamnya, hanya beberapa rumah saja itupun rasa buah mangganya asam. Seperti rumahku contohnya. Para tetangga lebih banyak yang tanam buah rambutan, salah satunya ada di depan rumah Rava. Kalau sudah musimnya, kami selalu kebagian banyak. Bi Tami sering buat manisan rambutan, abang paling jago menghabiskan.

"Udah, makan siang."

Aku kira Zero mau memperbaiki posisi kaca spionnya, rupanya malah dihadapkan mengarah wajahku. Jadi kami bisa saling pandang meskipun di atas motor, Zero juga memelankan laju motor. "Makan lagi ya?"

"Aku masih kenyang."

"Kalau gitu kita minum aja."

"Kenapa gak langsung ke kafe aja sih?" tanyaku berterus terang.

"Masih ada setengah jam lebih, sayang kalau gak dimanfaatkan."

Aku melirik jam tangan, dia benar. Aku  tersenyum mendengar alasannya. Ada-ada saja. 

"Tau es kolding yang ada di SMK Nangkana?"

Aku menggeleng, "Gak tau. Kan aku gak sekolah disana."

"Kalau gitu kita kesana aja, biar tau. Enak! Wak Begal yang jual."

"Wak Begal?" tanyaku mengulang nama penjual es kolding yang Zero sebutkan. 

"Wak Begal yang ini alim, jualannya pakai peci. Bukan begal yang suka ngambil hak milik orang lain dengan kekerasan."

"Itu Begal nama aslinya?" 

Zero tertawa, "Bukan lah!"

"Terus?" tanyaku ikut tertawa.

"Anak-anak sekolah yang kasih namanya. Soalnya es koldingnya wak Begal suka memaksa uang kami keluar dari saku. Apalagi kalau cuaca lagi terik!" 

Aku semakin tertawa mendengarnya. Bersama Zero hal kecil bisa menjadi asyik. Setiap berbincang dengannya jadi lebih menyenangkan. Zero mengenalkan banyak hal baru, membuka mataku untuk lebih memperhatikan dunia. 

"Awas aja kalau tidak enak!" seruku meragukan. 

"Kalau enak, kamu harus terima cintaku ya?"

Aku terdiam dibuatnya. 

*

Aku dan Zero sudah sampai di warung koldingnya wak Begal, sederet juga sama warungnya bu Jum tapi tidak samping-sampingan. Jualannya wak Begal pakai gerobak yang digandengkan langsung sama motor tua. Catnya warna hijau dan kuning yang sudah mulai pudar, mungkin karena sudah termakan waktu. Tapi kaca gerobaknya masih terlihat bersih, memperlihatkan deretan makanan seperti, kolak, agar-agar, roti, alpukat, susu, cendol, pulut, dan lainnya. Sebagai tempat untuk orang-orang yang mau makan disini, wak Begal membuat atap yang terbuat dari terpal warna biru. Beberapa sisinya ada yang bolong tapi sudah ditempel sama selotip bening.

Kami mendudukkan diri pada bangku plastik yang tersedia, di depannya ada meja kayu yang sepertinya dibuat sendiri. Wak begal menyambut kedatangan Zero dengan semangat sambil tetap membuat pesanan dua pria yang duduk agak jauh dari kami.

"Dengaren sama cewek bro! Biasa sama geng ribut?" 

Zero tertawa, "Geng ribut, temen-temenku. Wak Begal ini yang kasih nama!" jelasnya untukku, padahal aku tidak bertanya. Tapi hal ini menjadi suatu kesenangan karena Zero turut memperhatikan posisiku supaya tidak kebingungan.

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang