Hidup tidak bisa diam di tempat terus, waktu yang berjalan akan membawa kisah-kisah yang baru. Seperti sekarang ini, sejujurnya aku tidak menyangka akan menggerakkan orang-orang untuk membantu Zero. Mengambil alih rencana dan menyusun strategi untuk turun ke jalan, seolah menggantikan Zero sebagai pemangku jabatan bidik aksi. Aku tersenyum kecil mengingat kejadian di pinggir lapangan waktu itu.
"Ini punya siapa?" tanyaku, menggenggam teropong yang tidak sengaja aku temui dari sudut ruangan yang menyisakan satu rak tanpa penutup. Di dalam rak terdapat banyak barang-barang mini seperti senter, sarung tangan, kaca mata hitam, kamera, kompas, buku gambar dan lainnya. Tapi kali ini aku tertariknya hanya sama teropong.
"Punyaku. Untuk naik gunung." jawab Dewa.
"Untuk lihat apa?"
"Semua yang aku mau. Cobalah, lumayan untuk melihat dari jarak jauh."
"Kalau begitu aku pinjam."
Dewa menggunakan ikat kepala warna hitam, katanya biar kelihatan gagah waktu jadi memimpin pasukan nanti. "Buat apa?"
"Lihat Zero. Aku akan menghampirinya nanti."
"Keren banget cewek orang!" celetuk Rio dari depan, hanya kepalanya saja yang menyembul masuk ke ruangan. Aku hanya menggeleng, bukan saatnya membahas hal itu.
Kami semua beranjak keluar ruangan, sebentar lagi orang-orang akan menuju SMK Nangkana, jadi kami harus sampai disana lebih dulu. Aku tersenyum menyaksikan Firza mengenakan topi hitam untuk Neisha, meskipun wajahnya masih datar, setidaknya hubungan mereka mulai membaik. Tidak adu mulut terus.
Neisha menghampiri setelahnya, menyadari kalau sejak tadi diam-diam aku dan Dame meliriknya. "Tadi dia pakai topi, aku mau pinjam untuk menjaga rambutku yang cantik. Tapi tiba-tiba dia yang pakaikan langsung."
"Itu tandanya es batu mulai mencair!" seloroh Dame yang langsung mendapati lirikan tajam dari Neisha. Kami bertiga tertawa bersama.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum berangkat, mendekap gulungan karton dengan erat. Apa yang kami lakukan semoga membuahkan hasil. "Jumlah kita ramaikan?" tanyaku memastikan sebelum kami benar-benar pergi.
"Mungkin."
"Aku tidak suka sesuatu yang mungkin. Kita harus pasti!"
Max berjalan ragu mendekatiku, tatapannya tertunduk seolah tidak berani balas menatap. "Temanku sedikit di sekolah. Karena aku bermainnya selalu sama mereka!" ujarnya jujur sembari menunjuk orang-orang sekitar dengan dagunya.
"Firza bagaimana?"
"Tidak semua anak sepak bola bisa bergabung, sebagian lagi ikut tanding. Harusnya aku juga, tapi untungnya posisiku sudah ada penggantinya."
"Kalau kamu, Rio?"
"Cewek yang sekarang lagi dekat samaku hanya tiga. Maisel tidak balas pesan karena kami sedang bertengkar, sedang Ria anak rumahan. Harapan terakhir cuma sama Tara yang anak paskibra. Sayangnya tidak semua temannya bisa ikut, karena ada latihan persiapan untuk upacara senin depan."
Aku tersenyum kecewa, hanya bisa menaruh banyak harapan untuk jawaban terakhir. "Rava pasti bantu, kan, Neisha?"
"Katanya, akan diusahakan. Tapi tetap saja, kita masih kurang pasukan, kan?"
Neisha benar. Aku mau pasukan kami ramai supaya bisa menampar kebohongan dari mulut Rauf, laki-laki itu harus menerima kekalahannya. Jangan karena murid teladan, maka dia bisa mematahkan kesempatan Zero menjadi perwakilan sekolah untuk ikut lomba. Jangan mentang-mentang pintar dan tampan, dia bisa turut ambil andil keadaan dan perhatian para guru. Aku berpikir, memutar kepala untuk mendapat ide.
![](https://img.wattpad.com/cover/283012426-288-k443819.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
JugendliteraturAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...