Roti Isi

39 4 0
                                        

Hari ini Zero mengenakan seragam chefnya, warna putih bersih dengan deretan kancing berjejer rapi dibagian dada. Terlihat lebih tampan dari biasa, kombinasi keren terpancar dari tubuhnya. Aku tersenyum menyambut kedatangan Zero, menyerahkan tempat bekal mini yang terisi dua buah roti isi.

"Buat sarapan." kataku.

Zero tersenyum, menerimanya, lalu langsung dimasukkan ke dalam tas. "Terima kasih. Padahal aku udah sarapan."

"Gapapa. Biar energinya lebih banyak."

"Ada angin apa?" tanya Zero ragu, aku tau dia mau tanya tapi takut aku jadi tersinggung.

Aku mendengus kecil, "Memangnya selama ini kamu kasih aku sesuatu, aku tanya alasannya apa?"

Zero tersenyum, seolah memilih untuk menutup perdebatan yang dimulai saja belum bagiku. "Terima kasih, cantik."

Alih-alih melanjutkan kalimat Zero, aku justru cari topik pembicaraan baru, "Hari ini mau masak, ya?"

"Iya, jadwalnya praktik. Takut gak keburu, jadi bajunya dipakai langsung."

Aku mengangguk kecil. 

"Sekalian hari ini ada seleksi, kalau terpilih akan jadi perwakilan sekolah buat lomba."

Aku terpesona mendengarnya. Detik itu juga aku berdoa supaya Zero bisa kasih yang terbaik, supaya Zero terpilih. "Semoga berhasil!" seruku semangat.

"Kalau terpilih, mau lihat aku lomba?"

"Emang bisa?"

"Bisa."

Aku mengangguk kecil, tanpa sadar anggukan itu sudah menjadi janji. Sebuah tanda bahwa aku harus siapkan waktu untuk melihatnya lomba kalau Zero terpilih jadi perwakilan sekolahnya.

"Kalau gitu, aku jadi lebih semangat masaknya."

Aku tersenyum. Setelah percakapan singkat itu kami segera meluncur membelah jalanan, tidak boleh berlama-lama karena nanti Zero akan terlambat. Aku hanya tidak ingin menempatkan Zero pada masalah hanya karena mau antar aku ke sekolah. 

Soal roti isi yang aku berikan pada Zero, waktu membuatnya aku di ledekin sama abang. Ya, bang Pratama memang selalu begitu. Bahkan aku harus mengulang 3 sampai 5 kali karena aksi jailnya. Gara-gara dikejutin, aku jadi menjatuhkan roti yang sudah di panaskan pakai mentega. Aku juga membuat tomat jatuh tergelinding dari meja. Aku memasukkan gula pada telur yang sudah tercampur  bawang bombai, sosis, dan lada bubuk, bodohnya aku tidak menyadari kalau abang diam-diam sudah menukar posisi garam dengan gula. Yang paling buat kesal adalah aku lupa menutup rapat saus yang baru diisi ulang, jadi pas dituang semua bertebaran. Untunglah kesabaranku berada satu tingkat lebih atas dari pada rasa kesal, jadi aku bisa menyelesaikannya meskipun keadaan dapur jadi agak berantakan. Untuk produk yang gagal, aku sisakan di piring, biar bang Pratama yang makan. Nanti kalau dia akan buatkan sesuatu untuk kak Lola, aku akan membalasnya. Pasti. 

Aku tidak punya alasan kenapa ingin memberikan sesuatu untuk Zero. Tiba-tiba saja perasaan rajin menjalari tubuhku. Langkahku terasa lebih ringan berjalan menuju dapur sehabis subuh, padahal biasanya melenggang malas mau tidur lagi. Kata abang aku lagi jatuh cinta, tapi aku tau kalimat itu keluar dari bibirnya karena ingin mengganggu konsentrasiku dalam memasak. Aku memikirkan alasannya ketika lagi mandi, sampai akhirnya aku bertemu dengan satu alasan yang masuk akal. Yaitu karena Zero sudah banyak memberi, jadi aku ingin membalasnya. Bukankah kebaikan juga harus dibalas dengan kebaikan?

"Sha, kamu kapan jadinya mau ke rumah?" 

Aku tersadar dari lamunan mendapati pertanyaan Zero. Benar juga. Aku harus membicarakan hal itu, biar waktu bimbel datang, aku gausa lagi pusing memikirkannya. Lagian ketika aku sudah memutuskan untuk lamar pekerjaan, itu tandanya aku sudah siap bertanggung jawab. Jadi aku harus menyelesaikan semua yang sudah aku mulai. 

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang