Tidak Selesai

71 2 0
                                    

Pemandangan yang tersuguh membuatku mematung. Terdiam di tempat tanpa suara. Aku tidak pernah menyangka, bahwa perjalanan menuju rumah Neisha juga bagian dari perjalanan bertemu Zero. Laki-laki yang selama ini terjerat dalam definisi rindu, laki-laki yang selalu aku tunggu kehadirannya kini berada tepat di depan mata. Begitupun, aku tidak bisa melakukan apa-apa. 

Neisha bergerak maju menjemput barisan laki-laki yang masih berjumlah lengkap, sedang Dame tetap berada disisiku sembari merangkul. 

"Kalian ngapain disini?"

Firza mendekati kekasihnya, menjadi perwakilan untuk menjawab kebingungan kami. "Zero mau bertemu Asha."

Ada getaran kebahagiaan mendengarnya. Tiba-tiba aku berharap Zero membawa kabar gembira, meskipun lewat pancaran matanya aku tidak dapat melihat ketegasan yang tajam, justru menggambarkan sendu yang sayu. Aku tidak mau bergerak, menunggunya untuk mulai duluan. Zero yang aku kenal itu pemberani dan tampan. 

Seperti yang aku harapkan, Zero mendekati. Aku pikir dia akan memelukku, memecahkan bukit kerinduan atas perpisahan jarak yang memecah hubungan kami. Tapi badannya malah berdiri tegak dengan kepala yang agak menunduk. "Aku ingin bicara denganmu, Sha."

Aku memandangnya kecewa. "Kenapa baru sekarang?"

"Maaf."

"Kamu mau bicara apa?"

"Tentang kita berdua."

Untungnya Neisha peka terhadap hal ini. Sebagai tuan rumah, dia mempersilahkan kami semua masuk, sebagai sahabat yang memiliki bentuk pengertian tinggi, dia memberikan ruang untuk aku bicara berdua bersama Zero. Kami berakhir di taman belakang rumah Neisha, agaknya acara piknik bersama akan tertunda atau justru tidak akan terjadi. Aku berusaha melapangkan dada apapun yang akan terjadi ke depannya. 

"Kamu apa kabar? Kamu baik-baik saja, kan?"

Aku menatap redup rumput pendek yang menjadi pijakan kaki kami, lihatlah sekumpulan tanaman hijau kecil ini masih memberi kesegaran mata meskipun sudah berulang kali terpijak, seolah harapan mereka untuk hidup lebih besar betapapun kejamnya dunia. Tanganku meraup besi bangku yang terasa keras dan dingin, peluncuran yang mewakili perasaanku saat ini. Bertemu dengannya aku justru merasa senang dan takut dalam satu waktu. Bagaimana cara menjelaskannya pada Zero, kalau tanpa kehadirannya hidupku tidak baik-baik saja. Aku terjebak dalam ruang tunggu untuk bisa bertemu. Lalu bagaimana dengannya? Apakah tanpa kehadiranku tidak ada masalah dalam hidupnya? Tidakkah dia rindu ketika kami menghabiskan waktu bersama? Memamerkan kemesraan bersama sehingga langit dan seisinya iri? Sungguh, aku ingin sekali membaca isi hati dan pikirannya. 

"Aku baik. Seharusnya aku yang bertanya, tanganmu bagaimana?"

"Sudah pulih. Mama merawatku dengan sangat baik."

Aku mengangguk dalam pilu. Mengucapkan syukur yang tidak terucap dari mulut. Mama Zero merawat putranya dengan sangat baik, tapi tidak tau bahwa salah satu putri bumi terluka atas keputusannya. 

"Terima kasih sudah menolongku. Tapi sungguh, aku tidak akan menerima perjuanganmu kalau tau, akhirnya hubungan kita yang jadi taruhannya!"

"Aku tidak menyesal sudah melindungimu."

"Walaupun hubungan kita jadinya seperti ini?" sentakku, ada sesuatu yang coba aku utarakan. Tentang amarah yang selama ini aku simpan sendirian.

Zero menghela. Napasnya keluar dengan sangat panjang, seolah menggambarkan tentang kerisauhan yang mengusai dirinya. "Aku tidak mau kamu berakhir seperti Ela, Sha. Aku tidak mau mengalaminya kedua kali. Lebih baik hubungan kita yang berakhir."

Giliran aku yang menghela. Pegangan pada besi bangku semakin erat, membuat nadi tanganku tercetak dengan jelas. Aku harus bagaimana? Selain mencintai laki-laki yang penuh dengan pemikiran matang mengenai keamanan hidupku? Sialnya, aku tidak bisa memilikinya. Mengapa cinta harus tumbuh begitu kuat, padahal kenyataannya tidak bisa bersama. Mengapa takdir diatur sedemikian rumit, seolah mencintai dan dicintai adalah pertentangan yang tidak bisa diselesaikan dengan jalan yang lurus. Dalam menggapai mimpi dan cita-cita, aku sudah bertemu dengan titik-titik tantangan yang lika-liku, lalu kenapa soal percintaan harus dicoba juga? Sebenarnya apa yang sedang disediakan semesta, sampai-sampai rintangannya begitu terjal dan penuh dengan kerikil-kerikil yang bentuknya dapat melukai. Mengapa untuk bahagia saja aku harus berjuang? Tidakkah bisa aku dan Zero dipersatukan seperti sepasang sepatu, berjalan beriringan menyusuri setiap sudut bumi. Atau jika tidak, seperti kuntum yang membalut sarinya dengan sebegitu indah. Tidak-tidak! lebah akan menghisapnya sewaktu-waktu. Izinkan saja kami untuk saling mencintai dengan sederhana, seperti akar dan tubuh tanaman. Jika tercabut, seluruhnya akan mati, maka tak ada kesedihan yang harus ditanggung antara aku dan Zero. Kami akan selalu bersama, hidup dan mati sama-sama. Bisa, kan, semesta?

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang