Rela

52 6 0
                                    

Pagi menuju siang, ketika jam dinding menunjukkan pukul 11.05 wib, aku kedatangan tamu. Sebenarnya ini bukan kali pertama, tapi kedatangan mereka terlalu pas-pasan, padahal aku tidak menginginkan hal seperti ini kejadian lagi. Yaitu Zero dan Rava. Rumah kami jadi lebih ramai, karena setengah jam yang lalu ayah juga kedatangan tamu. Teman-temannya berjumlah 4 orang datang untuk menjenguk sekaligus bincang-bincang. Katanya kangen sama ayah karena sudah lama tidak datang ke warung simpang raja, biasa hampir setiap hari ayah kesana untuk makan siang atau sekedar minum secangkir kopi.

"Kalian janjian ya mau datang?"

Zero dan Rava saling bertatapan, lalu mereka saling tersenyum kecil. Rava menggeleng sebagai tanda untuk menjawab pertanyaanku, sedang Zero menjawab dengan bilang, "Masa mau ngapelin cewek ngajak saingan, Sha?"

Aku menggeleng, Zero memang aneh. Hasil ucapannya berhasil membuat ekspresi Rava berubah, melirik Zero agak sinis. 

 "Kalian duduk disini dulu, gapapa kan? Soalnya didalam ada tamu ayah." 

Keduanya hanya mengangguk, jadi aku yakin mereka setuju kalau duduknya di bangku teras. Sebenarnya bisa saja aku ajak masuk, duduk di sofa depan tv atau yang biasa dibilang ruang keluarga. Tapi aku memilih untuk tidak melakukannya, rasanya agak tidak enak karena ada teman ayah di ruang tamu, apalagi yang datang itu dua laki-laki. Kalau perempuan mah bebas, bahkan bisa aku ajak langsung masuk kamar. 

"Aku kedalam dulu ya." pamitku meninggalkan keduanya bersama.

 Awalnya ada sedikit keraguan, karena bisa saja mereka jadi bertengkar, padahal tidak ada alasan untuk mereka melakukannya. Tapi mengingat Zero itu suka bicara terang-terangan dan Rava yang kelihatan tidak cocok dengannya, bisa jadi mereka akan berseteru. Tapi aku harus ke dapur dulu, karena menjamu tamu merupakan salah satu adab yang harus dicerminkan, seperti yang juga aku lakukan untuk tamu ayah. Aku membuatkan teh manis dingin untuk Zero dan Rava.

Aku tidak suka membebani semua pekerjaan sama bi Tami, apalagi kalau soal melayani tamu. Maksudku, kalau selagi bisa, maka aku yang melakukannya. Ayah yang mengajari. Mungkin hal ini yang membuat bi Tami betah kerja bersama kami sampai menghabiskan waktu bertahun-tahun. Gak hanya aku, abang juga melakukan hal yang sama, menyiapkan sajian untuk tamunya sendiri walaupun sekali-sekali. Beda lagi kalau tamunya ramai, maka bi Tami akan ikut turun tangan. 

 "Tamu ayah datang lagi kak?" 

Aku tersenyum, melihat bi Tami yang sedang memotong wortel, sepertinya hari ini bi Tami akan masak sop. Sambil menuangkan gula ke dalam teko tamu aku membalas, "Bukan. Ini buat teman Asha, bi."

"Ooo, teman kakak juga datang?"

"Iya." Aku tersenyum mengingat kejadian kemarin, "Cowok ganteng sama tukang kebun."

Bi Tami berhenti berkutat sama wortel mendengar jawabanku, "Yang kemarin kasih bunga matahari?" 

"Iya."

"Rupanya tukang kebun itu teman kakak?" 

"Iya. Namanya Zero." 

"Memang tukang kebun dia, kak?"

"Gak, bi. Dia itu anak pemilik kafe tempat Asha kerja. Dia bagian buat kopi disana."

"Keren dong! Kok mau nyamar jadi tukang kebun dia, kak?"

Aku tertawa, "Gak tau. Nanti aku tanyain bi."

"Ganteng juga dia kak."

Aku hampir melepas gelas yang baru diambil dari lemari mendengar pengakuan bi Tami, "Bibi mah semua dibilang ganteng!"

Bi Tami tertawa, kembali melanjutkan aksinya memotong wortel. "Tapi yang ini serius kak. Matanya coklat, hidungnya mancung. Kayak aktor-aktor di tv yang blasteran gitu!"

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang