Sesuai dengan rencana yang sudah disusun, hari ini pulang sekolah aku pergi bersama Zero. Ini adalah kali kedua aku bertemu Ela setelah yang pertama tidak berjalan manis.
"Zer, dulu Ela orangnya gimana?" tanyaku mengisi kekosongan sembari kami melangkah membelah gedung rumah sakit.
"Ceria. Banyak bicara. Tidak mau kalah."
"Tidak mau kalah?"
"Iya. Dia duluan yang jatuh cinta samaku, dia juga yang duluan memutuskan hubungan kami. Dia tidak kalah, dia selalu mau menang, Sha."
"Dulu yang nembak duluan siapa?"
"Coba tebak?"
Aku berdehem, "Ela?" jawabku ragu.
"Iya. Benar! 100 buat kamu!"
Aku tersenyum, kagum sendiri sama keberanian Ela. Tapi sekarang lihatlah, dia menjadi manusia paling penakut, bahkan hanya untuk bertemu dengan orang baru saja dia histeris. Pelakunya jahat. Mereka merenggut keberanian dan kecerian yang tertanam dalam diri Ela, mereka mencabutnya sampai keakar. Mereka seharusnya tidak pantas hidup di bumi, kalau bisanya hanya membuat luka-luka kehidupan.
"Kamu rindu dia yang dulu?"
"Pastilah. Tapi aku bisa apa biar dia kembali jadi yang dulu, Sha? Sudah dirawat di rumah sakit bertahun-tahun, tapi keadaannya gak berubah."
Aku diam, kalimat Zero menyembunyikan luka.
"Kalau dia kembali seperti dulu? Kamu akan gimana?"
"Gimana apanya?"
"Kamu kembali sama dia atau menetap di aku?"
Zero menghentikan langkah, aku mengikutinya. Ada sedikit gugup yang menguasai diri menunggu jawaban dari bibirnya. Tidak bisa dipungkiri kalau sesungguhnya aku takut mendengar jawaban Zero, hanya saja aku ingin tau jawabannya dengan jelas dan tegas. Sebelum masuk pada tahap hubungan berikutnya, aku harus mendapat jawaban atas semua pertanyaan yang ada dikepala.
"Aku sudah pilih berhenti di kamu, Sha."
Aku tersenyum. Rasa takut sudah sirna. Zero memang laki-laki tepat yang dikirim semesta untuk menyembuhkan luka. Kami kembali melanjutkan perjalanan, semoga Ela bisa menerima kehadiranku. Waktu sampai di ruangannya, Zero mengajakku masuk bersama, tidak seperti kali pertama. Dia menautkan jemariku perlahan, ini adalah kali pertama kami saling berpegangan tangan setelah lama berkenalan. Rasa hangat menjulur lancar, darahku rasanya berdesir hebat mengaliri seluruh organ tubuh.
"Gapapa?"
Aku mengangguk malu, tidak menolak izin Zero. "Iya."
Ela berhenti bicara dengan boneka beruang warna coklat miliknya, penampakannya semenit yang lalu persis seperti anak kecil yang belum masuk sekolah.
"Dia siapa?!" tanya Ela menghentak kalimatnya, ada marah yang sembunyi dalam matanya.
"Aku sudah pernah mengenalkannya, kamu lupa?"
"Aku ingat! Tapi tidak mau menerimanya!" Ela membanting boneka beruang, kemarahannya tampak mulai jelas.
Ketika Zero akan menghampiri Ela untuk membuat pengertian, aku menghentikan dan menggantikannya. Kalau Zero terus-terus memaksa, maka Ela akan semakin tersiksa. Kami harus melakukan ide lain yang membuat Ela nyaman.
"Boneka beruang!" seruku semangat, "Kamu suka boneka beruang, kan? Kalau aku suka boneka panda! Kira-kira, kalau boneka beruang di adu sama boneka panda, siapa yang menang, ya?"
Ela menjatuhkan tatapannya pada boneka beruang yang sudah tekapar di lantai, perlahan mengambilnya dengan alis yang bertautan. "Boneka panda kayak mana?" tanyanya, masih ada sedikit nada judes yang terselip.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Novela JuvenilAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...