Hari ini aku, Neisha, dan Dame dihukum. Aku menerimanya dengan lapang dada, karena sejak awal memanjat tembok sudah terpikirkan akibatnya. Bolos sekolah jelas perbuatan yang tidak baik, melanggar peraturan sekolah secara terang-terangan. Kami berakhir di lapangan luas yang beratapkan langit, sinar matahari menyorot terik seolah kami sedang menampilkan pentas seni. Waktu istirahat yang harusnya bermanfaat untuk mengisi perut, malah habis berteman sama panas, keringat, dan lelah. Kami diminta menjewer telinga sendiri di tengah lapangan sama ibu guru, setelah Neisha menawar tidak mau membersihkan toilet.
"Rava sama Dira beneran putus?"
Aku memutar bola mata malas, enggan menanggapi. Dame masih saja membahas hal itu. Padahal Rava sudah jelas mengatakannya, membuat teman-teman heboh, apa aku harus mempertegasnya lagi? Lagian ini hubungan antara Rava dan Dira, jadi rasanya aku tidak perlu ikut campur. Mereka sudah selesai atau belum, aku tidak memikirkannya. Karena perasaanku untuk Rava sudah tertinggal jauh.
"Padahal steak yang kemarin masih terasa di lidahku!"
Aku dan Neisha tertawa, Dame kelihatan antara lugu dan lucu.
"Tiba-tiba jam istirahat berjalan lambat, ya?" keluh Neisha, entah sudah berapa kali dia menghela napas. Rambutnya yang indah mendadak kusam. Akhirnya penampilan Neisha si primadona kusut juga. Aura kesegarannya mendadak hanyut terbawa keringat sebesar jagung yang meluncur hebat pada dahinya.
"Nikmati aja." kataku sekenanya.
"Pulang sekolah, Firza minta aku kabulin satu permintaannya."
Aku dan Dame saling pandang.
"Kira-kira dia minta apa, ya?" timbal Neisha. Posisi kami bertiga masih dalam menjalani hukuman, hanya saja bibir saling berbincang supaya waktu berjalan tidak terlalu lama.
"Kalau begitu kami ikut saja, biar bisa bantu."
"Dia mau aku sendiri."
Aku menautkan alis, sepertinya Firza memang punya dendam tersembunyi. Tapi apa yang akan dia lakukan? Aku tidak bisa memikirkan permintaan apa yang akan dia katakan, hanya saja rasanya sedikit mengganjal. Jujur hal ini mengganggu pikiranku, apalagi Neisha melakukannya waktu itu supaya kami bisa membantu Zero. Perlakuan Firza sebenarnya terlalu berlebihan, aku jadi ingin mengaduh sama Zero. Perlakuan laki-laki itu sungguh tidak bersahabat.
"Pokoknya kamu kabarin terus. Kalau dia macam-macam, langsung kita berantas!"
"Sha, gimana kalau kita diam-diam ikutin mereka?"
Kami bertiga tersenyum, ide Dame membawa cahaya yang menerangkan. Tapi suara yang tiba-tiba muncul dari belakang berhasil mengambil alih perhatian kami sepenuhnya.
"Gak perlu!"
Kami menoleh tanpa memutar tubuh, ternyata Firza. Entah sejak kapan laki-laki itu berada disana. Dia membawa 3 botol air mineral baru yang masih tersegel. Firza melangkah maju, sekarang posisinya berada tepat didepan kami.
"Teman kalian akan aman, gausa jadi penguntit!" serunya dengan wajah datar yang terkesan agak dingin. Dia memberikan air mineral satu persatu, kami menerimanya dengan alis yang bertaut, bertanya-tanya angin apa yang membawa Firza berlaku baik.
"Lagian menerima maaf itu harus dilakukan secara tulus, bukan malah pakai persyaratan!" gerutuku.
"Aku tidak memintanya."
"Kalau begitu jangan diterima!"
Firza menatap mataku setajam elang, aku agak ngeri melihatnya. "Dia berjanji, jadi harus ditepati." katanya lalu pergi begitu saja.
Aku menghela napas, laki-laki satu itu selain dingin dan cuek, juga tidak bisa dibilangin ternyata. Untungnya bel istirahat tanda selesai menggema mengisi kekosongan sekolah, jadinya aku tidak terlalu kesal. Air mineral pemberian Firza sangat menggoda, walaupun orangnya agak nyebelin. Kami memanfaatkan waktu yang sedikit untuk makan roti, setidaknya mengisi tenaga yang nyaris hilang termakan hukuman. Tentang permintaan Firza, aku masih memikirkannya selama jam pelajaran berlangsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Teen FictionAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...