Setelah semua beres, aku dan Zero mengundurkan diri dari yang lain. Sebelumnya, teman-teman Zero mengucapkan terima kasih, membalasnya, aku katakan senang bekerja sama dengan mereka. Pasukan yang berkumpul juga sudah bubar secara bertahap, dagangan para pedagang laris, sedang dompet Zero dan teman-temannya mendadak tipis. Kalau aku yang diposisi mereka, mungkin aku hanya bisa traktir 10 bungkus saja, itu juga bayarnya harus nyicil.
"Hari ini aku bolos, Zer."
"Iya, tau. Dibantu teman-temanku, kan? Nanti aku marahi mereka!"
Aku lihat Zero tersenyum dari kaca spion, kami sedang dalam perjalanan sekarang.
"Jangan. Kan, aku yang mau!"
"Tetap aku marahi, karena bolosnya gak ngajak aku."
Aku tertawa, masih sempat cemburu juga ya, Zero. Padahal kami bolos juga untuknya.
"Sha, janji ya, ini yang terakhir?"
Tawaku berhenti, kata terakhir membuatku manautkan alis. Kata terakhir itu punya arti yang agak sensitif, apalagi yang berakhir soal hubungan yang baru dimulai. Kata terakhir itu bisa membawa kita pada titik penghabisan, jadi aku kurang senang mendengarnya.
"Janji apa? Terakhir apanya?"
"Bolosnya."
Aku tersenyum. Rupanya aku berpikir terlalu jauh.
"Kalau begitu, kamu juga janji buat gak bolos lagi, ya?"
Zero berdehem.
"Kenapa?"
"Susah, Sha!"
"Makanya harus dilawan, biar tidak kebiasaan. Kamu harus berani menembus zona nyaman untuk berada ditempat yang aman, Zer. Lagian kita sudah mau tamat!"
"Iya, Asha. Nanti aku coba."
"Satu bulan ini, kalau kamu gak ada bolos, aku kasih satu permintaan."
"Serius?"
"Iya."
Zero tersenyum senang, sapuan angin menyapa wajahnya yang tenang. Semoga dengan ini, Zero bisa berubah. Setidaknya bisa selangkah lebih baik. Aku kasih kebebasan untuk Zero, terserah padanya mau ambil jalan yang mana. Zero sudah dewasa, bisa mengatur jalan hidupnya, dia bisa membedakan antara baik dan buruk. Aku hanya sedikit membuka pikirannya saja, membantunya cari jalan keluar dari zona nyaman yang merugikan.
"Sekarang aku yang turutin kemauan kamu, mau kemana aja, aku antar."
Aku diam sejenak, berpikir tempat spesial mana yang harus kami tuju untuk memanfaatkan kesempatan ini. Tapi aku tidak menemukan jawaban, karena tempat apapun yang kami tuju rasanya akan sempurna. Perjalanan bersama Zero tidak perlu mewah, karena yang sederhana saja dapat menawarkan kebahagiaan yang tiada tara. Kemana saja oke. Syaratnya, yang penting sama Zero.
Tiba-tiba pikiranku menepi pada dua tempat. Tempat pertama untuk menyelesaikan misi, sedang tempat kedua untuk melanjutkan perjalanan aku dan Zero supaya makin berkembang. Mungkin Zero akan senang, karena dua tempat ini akan menjadi bagian dari kisah kami berdua.
"Pegadaian, gimana?"
"Mau gadaikan cintaku, Sha?"
Aku tertawa kecil, "Bukan lah!"
"Terus?"
"Tembus cincin abang yang untuk kak Lola." balasku. Zero sudah tau semuanya, sudah aku ceritakan waktu di bawah pohon di atas bukit. Jadi tanpa dijelaskan, Zero pasti sudah mengerti.
"Gak bisa besok, Sha?"
"Kenapa? Katanya mau turutin kemauan aku?" gerutuku rada kesal, tidak menyangka sama respon Zero.
![](https://img.wattpad.com/cover/283012426-288-k443819.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Teen FictionAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...