Berpisah?

35 1 0
                                    

Setelah memberi keterangan sebagai saksi, aku langsung cepat-cepat kembali ke rumah sakit. Zero dirawat di tempat yang sama dengan ayah. Dame langsung pulang dari kantor polisi bersama nantulangnya, dia tidak lagi bisa membantah padahal sangat ingin melihat kondisi perkembangan Zero. Nantulangnya kalut dalam khawatir yang berlebih, meminta Dame untuk jangan kemana-mana. Neisha sendiri masih membersamaiku dari semalam sampai hari ini. Begitu mendapat kabar buruk itu, tidak ada cela baginya melenggang tenang melepasku. Neisha dan Abang menjagaku dengan sungguh. 

Padahal aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-kenapa. Hanya mendapat beberapa luka dan ini sungguh tidak ada rasanya kalau dibandingkan dengan lukanya Zero yang berkali-kali lipat lebih pedih. Bertanya-tanya bagaimana kondisi Zero sekarang, membuat aku kembali merasa bersalah. Padahal Zero bisa membuat aku bahagia dan jatuh cinta tanpa harus mempertaruhkan nyawanya. Padahal aku mengagumi kesederhanaannya yang berujung indah. Tapi sekarang, kenapa Zero harus berjuang? Kenapa juga aku dibuat sedih atas akhir perjuangannya? Kenapa harus Zero yang tertusuk? Kenapa pengamen itu membawa pisau? Sayangnya, semakin banyak pertanyaan merajalela di kepala, semakin aku merasa kalut dalam perasaan takut karena tidak dapat jawabannya. Padahal inti dari semua pertanyaan bisa dirangkum menjadi satu, kenapa harus aku dan Dame yang terjebak dalam kejadian buruk semalam wahai semesta? 

Tapi, pantaskah aku menyalahkan semesta? Padahal kesalahannya sejak awal berada di aku. Rasanya pertanyaan-pertanyaan atas rasa takut dan khawatir membawa aku pada sebuah labirin tidak berujung. Terasa runyam dan mengikat. 

"Sha, mikirin apa?" 

"Zero."

Neisha menghela napas, meraih tanganku lalu mengelusnya dengan hangat. 

"Semua akan baik-baik saja, Sha."

"Waktu kejadian semalam, Zero juga mengucapkan hal itu." 

Neisha tidak membalas. Abang dan Neisha malah saling melempar tatap dalam diam. 

"Semalam darah Zero itu keluar banyak, dia bahkan sampai pingsan!" 

"Tapi Zero sudah ditangani sama dokter. Kamu seharusnya lebih tenang sekarang!"

"Gimana aku bisa tenang? Aku belum ada dapat kabar tentang perkembangan dia dari semalam!" 

"Itu tandanya Zero baik-baik aja. Lagian teman-teman Zero juga babak belur, jadi wajar dong mereka tidak kasih kabar karena dalam proses pemulihan juga?" 

"Tapi Zero punya keluarga. Abangnya, kakaknya, mamanya, papanya, sesibuk itu?"

Wajah abang dan Neisha semakin intens dalam melempar pandangan, seolah-olah ada sesuatu yang mereka sembunyikan lewat tatapan mata. Saling menyiratkan kekhawatiran yang aku tidak bisa menafsirkan apa artinya. Pandangan mereka justru membawa aku pada lorong labirin yang perlahan menggelap.  

"Sha, jangan berhenti berpikir baik sama takdir. Harus yakin kalau semua memang akan baik-baik saja." kata Abang menggantikan posisi Neisha yang sudah tersendat kalimat untuk membalas ucapanku. 

"Buat apa? Kemarin saja takdirku buruk!" 

"Yang buruk belum tentu selamanya buruk, kan? Kita ambil hikmah di dalamnya."

"Memangnya hikmah apa yang bisa aku dapat dari kejadian buruk itu? Gak ada! Zero masuk rumah sakit, teman-temannya terluka, aku terluka, Dame terluka! Semua penuh luka!" 

"Kamu boleh marah dan khawatir, Sha. Tapi jangan sampai lupa jadi manusia. Apa pantas? Kita sebagai manusia, menyalahkan takdir yang sudah dirancang semesta? Kita manusia dan jangan lupa kalau kita punya Tuhan. Kita berdoa, Allah yang kabulkan." 

Aku terdiam. Kata-kata abang berhasil menampar kesadaranku. Aku terlalu menyalahkan takdir, hampir meninggalkan jati diri sebagai manusia yang tau bagaimana cara berdoa dan menahan amarah. Aku memejamkan mata, berharap abang mengendarai mobil lebih cepat dan jalanan menjadi lengang. Supaya aku bisa segera bertemu ayah dan Zero. Dari pada bertingkah seperti manusia frustasi, lebih baik aku melafalkan doa dalam hati. Sebagai manusia, harusnya aku begitu. 

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang