Secangkir Kopi

67 8 0
                                    

Selepas berbincang sebentar sama ibu Flo aku dipersilahkan untuk melihat sekeliling kafe, memperhatikan setiap sudutnya sambil mendekatkan diri. Karena besok aku sudah mulai bekerja. Kalau yang aku hitung, karyawan yang mondar mandir antar makanan ke pelanggan itu setidaknya ada tiga orang. Belum sama yang masak, kasir, dan ya, barista! Aku langsung menghampiri pria aneh yang tengah menyiapkan kopi pesanan, ternyata selain pelukis dia juga tukang buat kopi. 

"Hai!" sapanya hangat melihat kedatanganku sambil tetap fokus dengan pekerjaannya, aku tersenyum tipis sembari mendudukkan diri pada bangku bar dekatnya.

Selang dua menit kami saling diam karena dia masih sibuk. Sedang aku memperhatikan cara kerjanya yang cekatan. Dia terlihat ahli menggunakan alat yang ada, mungkin membuat kopi sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari.

"Kopi spesial untuk cewek cantik yang lagi capai!"

Aku terdiam begitu dia menyodorkan secangkir kopi yang diatasnya terdapat gambar semanggi berdaun 4, lengkap dengan batangnya. Sempurna. 

Dia itu memang suka kasih kejutan atau senang berbagi sih? Kan rasanya aku jadi senang. Tapi aku kembali fokus dengan ucapannya, tidak mau ketara terlihat bahagia karena perbuatannya. "Terima kasih. Tapi kok tau aku lagi capai?" 

"Gak sekalian mau nanya, kok tau aku cantik? kok tau ayahku sakit? kok tau aku suka bunga matahari? kok tau aku ulang tahun?" 

Lagi-lagi aku tersenyum dibuatnya, "Iya, kok tau?"

"Kalau mau tau jawabannya, kamu masuk dulu ke duniaku."

"Kenapa gitu?" tanyaku heran, kan dia bisa langsung kasih tau saja. 

"Karena kalau kamu sudah masuk duniaku, kamu jadi mengerti semua tentang aku. Kamu jadi gak akan kebingungan lagi. Kamu akan tau setiap jawabannya tanpa harus bertanya."

Aku menghela napas, "Aku lagi capai dan gak mau banyak berpikir. Tinggal kasih tau saja, sulit ya? Lagian ini kan tentang aku juga. Kenapa kamu bisa tau semua tentang aku?"

Dia tersenyum, tampak tidak  kesal dengan kelimatku yang agak menjengkelkan. "Karena aku ingin masuk keduniamu, jadi aku cari tau tentangmu."

Aku terdiam lagi dibuatnya. Dia itu manusia spesies apa ya? Kenapa jawabannya berhasil menjawab semua pertanyaan yang ada di kepalaku. Dia memberi jawaban pasti untuk semua pertanyaanku hanya dengan satu kalimat.

"Yasudah, diminum dulu kopinya selagi hangat. Aku lanjut dulu ya." 

Dia beranjak pergi tapi rasanya aku malah mau dia bertahan agak lama. Bukan tanpa alasan, karena masih ada banyak pertanyaan yang ingin aku lontarkan untuknya. Terutama mau tanya siapa namanya. Setidaknya itu yang paling penting sekarang. Karena sejauh ini, aku belum mengenalnya padahal dia sudah masuk ke duniaku.

Aku menoleh pada kopi pemberiannya, rasanya sayang mau diminum. Tidak mau gambar manis buatannya jadi rusak bahkan lenyap. Aku tersenyum, menghidupkan ponsel, memotretnya, lalu kirim ke abang. "Sudah dapat kerja, dapat kopi lagi. Terima kasih doanya."

Tepat seperti dugaan, abang langsung baca pesannya. Dia pasti sudah menunggu sejak tadi.

"Siapa juga yang doain kamu (Emotikon wajah datar)." 

Aku hanya balas dengan emotikon pakai kacamata. Bergaya sok keren. 

"Diterima dimana?"

Aku tersenyum. Benarkan dia ikut mendoakan. Dibibir memang tidak setuju, tapi bertentangan dengan yang ada dihatinya. Bekerja di umur yang sudah menginjak 18 tahun sepertinya tidak terlalu mudah, sudah cukup untuk belajar mengerti cara berjuang menghasilkan uang. 

"Cafe Kita." 

"Serius?" 

"Iya. Emang kenapa?" 

"Sebelum buka bengkel mobil, abang pernah lamar kerja disana. Tapi ditolak karena sudah penuh."

Aku takjub tidak percaya. Dunia memang banyak kejutan ya. Semesta memang gak selalu kasih kita kesempatan, itu karena semesta punya rancangan rencananya sendiri. Waktu abang gagal, semesta seolah bilang gini, "Tempat kamu bukan disini, ayo kita cari yang lebih. Suatu saat tempat ini biar adikmu yang menaklukkanya."

Aku menyeduh kopi buatan dia. Rasa yang pas. Aroma yang kopi tawarkan mampu kasih ketenangan. Capai yang menumpuk di bahu perlahan luntur. Usaha memang tidak akan mengkhianati hasil. Walaupun beberapa orang harus menunggu waktu agak lama untuk memetik hasilnya. Untungnya hari ini semesta berpihak padaku. Mungkin karena niatku juga baik. Membantu abang dan ayah. Biar kepala mereka tidak begitu padat memikirkan biaya. Karena sebagai anak dan adik aku juga mau ikut campur. Bahagia dan sedih biar kami pikul bersama-sama.

Sebentar saja aku sudah hampir menghabiskan kopinya, tinggal seperempat saja. Selain haus aku juga lelah. Diam-diam aku melirik dia, tapi rupanya dia juga ambil kesempatan buat lihat aku. Sesekali kami saling pandang, dia tersenyum sedang aku langsung mengalihkan mata, pura-pura tidak lihat.

Tiba-tiba ponselku bergetar, menandakan panggilan masuk padahal aku baru aja mau bergerak ambil buku di rak. Ternyata bang Pratama yang telepon. "Ada apa ya? Padahal aku sudah mengabaikan pesannya yang terakhir."  tanyaku pada diri sendiri

Aku merasa enggan menjawab panggilannya. Bang Pratama itu kalau diladeni, sampai besok pagi bisa gak siap-siap dia cerita. Tapi mungkin saja ayah lagi tidur, dia bosan dan kesepian jadi menelepon aku untuk cari kawan bicara. Atau mungkin dia mau minta aku belikan makan malam waktu jalan pulang ke rumah sakit. Dari pada menerka-nerka jawaban sendiri, aku mengangkat panggilannya. 

"Ada apa bang?" tanyaku tembak ke intinya ketika kami sudah saling beri salam. 

"Udah bisa balik?"

"Sudah. Sebentar lagi aku pulang." 

"Cepat ya!" mendengar deru napasnya yang tidak teratur dari seberang telepon membuat bang Pratama seperti habis lari. 

Aku menautkan alis, "Kenapa bang?" 

"Jantung ayah kambuh lagi."  jawab bang Pratama dengan nada penuh khawatir. Seketika aku jadi lemas.

Aku langsung mengakhiri panggilan secara sepihak sambil menyambar tas yang sejak tadi tergeletak dimeja. Berlari meninggalkan kafe dengan menahan air mata supaya tidak keluar dari persembunyiannya. Pikiranku terlalu kalut dalam kecemasan sampai lupa berpamitan. Mendengar kabar tentang ayah membuat kecemasan dan ketakutan menyerang dadaku dengan hebat.

Sekarang ayah tengah diserang rasa sakit yang teramat perih. Senyumnya pasti hilang dan tergantikan dengan rintihan menahan sakit. Bayang-bayang pertama kali melihat ayah kehilangan kesadaran dan terbaring tidak berdaya kembali terlintas di kepala. 

Tidak, jangan lagi Tuhan. Kasih kesempatan buat ayah bisa sembuh walau kenyataannya tidak mungkin. Atau kasih ayah kekuatan untuk bertahan. Aku dan abang masih membutuhkan ayah sekarang, besok, dan 100 tahun lagi. Kasih kami kesempatan untuk bisa membahagiakannya. Jangan biarkan kami berkelana di bumi yang kejam ini tanpa seorang pemimpin. Jangan kasih kesempatan buat ayah bertemu ibu dulu. Jangan sekarang.

Kekuatan lari yang penuh gelisah menghantarkan aku sampai di halte lebih cepat. Aku menghentakkan kaki berulang kali menunggu kedatangan bus. Aku tersentak ketika tiba-tiba bahuku dipegang seseorang. 

Ternyata dia. Iya dia! Laki-laki aneh yang memberikan aku jambu air, bunga matahari, sketsa wajah dan kopi. 

Air mata yang sejak tadi tertahan tiba-tiba keluar begitu saja. Seolah dengan dia aku tidak harus menyembunyikan apapun. Bersamanya aku bisa mengapresiasikan seluruh perasaan. "Jantung ayah sakit lagi." aduh ku di sela tangis.

Seolah tidak mau waktu terbuang, dia menarik tanganku menuju motornya. Masih dengan menyimpan suara dia memakaikan helm untukku. Motornya segera membelah jalanan menuju rumah sakit. 

"Jangan khawatir. Ayahmu itu kuat. Sama sepertimu." ujarnya ditengah perjalanan. 

Hatiku sedikit tenang. Dia punya cara berbeda menangani kegelisahan ku. Sikapnya tenang tapi hangat. Aku tidak bisa berdusta kalau perhatiannya mampu memberiku rasa nyaman. Isak tangisku perlahan reda. Dia benar. Ayah pasti kuat.









--



See u! 





ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang