Hari ini menjelang siang, aku pulang ke rumah untuk mengambil kebutuhan selama ayah dirawat. Awalnya abang yang mau ambil, tapi aku menawarkan diri. Selain mau pergi ke suatu tempat, aku juga gak suka berlama-lama di rumah sakit. Melihat ayah tidak berdaya adalah mimpi buruk bagiku. Dan sekarang mimpi buruk itu malah menjadi nyata.
Suatu tempat yang menjadi tujuan ku adalah kuburan. Yah, aku sering mengunjungi tempat istirahat ibu untuk sekedar mendoakan atau bercerita juga. Walaupun tidak ada balasan, dan selamanya akan begitu, bagiku ini cukup menenangkan. Meskipun tidak pernah bertemu, aku mau ibu tau, kalau cintaku untuknya tulus dan luas. Aku tidak mau ibu merasa perjuangannya melahirkan aku ke bumi berakhir penyesalan, aku sangat menyayanginya lebih dari apapun.
Aku mengusap batu nisan yang jadi tanda pengenal ibu, memandangnya lamat-lamat seolah sedang menatap mata ibu. Sampai lima menit berikutnya aku menyadari satu hal, membaca ukiran batu nisan yang mulai kabur. Wafat: 2 Januari 2005.
Aku menghidupkan layar ponsel, melihat tanggal hari ini. 1 Januari 2023. Aku tersenyum, rupanya hari ini aku ulang tahun. Kemudian menangis, rupanya besok ibu genap pergi 18 tahun. Sama seperti umurku. Kalau orang-orang suka merayakan hari ulang tahunnya, berbeda dengan aku yang justru jadi sedih kalau sedang berulang tahun.
Tadi malam orang-orang juga berlomba menyambut tahun baru, memberi harapan untuk diri sendiri supaya lebih baik lagi ke depannya. Aku justru bersedih. Karena sejak lahir, kehadiranku justru membuat banyak mata menangis. Aku tidak punya harapan. Ada, tapi tidak mungkin terjadi. Karena harapanku adalah bertemu dengan ibu. Aku mau ibu hidup lagi, atau aku saja yang mati, ya?
"Ayah masuk rumah sakit, bu." ujarku mulai bercerita, tidak mau ibu menyaksikan tangisanku lebih lama.
"Hari ini bengkel harus tutup, bu. Selain karena tahun baru, karena ayah juga butuh perhatian khusus."
Aku mulai mencabut rumput liar sekeliling pusara, tidak banyak yang tumbuh karena aku sering membersihkannya. "Sebelum kesini, aku lihat wajah bang Pratama lesu, bu. Gak segar kaya biasanya. Aura semangatnya hilang. Pasti dia mikirin biaya pengobatan ayah."
Aku beranjak menaburkan bunga yang aku beli sebelum masuk kuburan, "Aku masih libur sekolah. Doain aku ya, bu. Aku akan cari pekerjaan paruh waktu. Biar abang berjuangnya gak sendirian. Aku kan juga anak ayah? Memangnya gak boleh aku mau membantu?"
Tiba-tiba aku teringat sama Rava, rasanya mau cerita ke ibu juga soal patah hati ini. Tapi aku mengurungkan niat, aku tidak mau ibu jadi membenci Rava. Aku sudah mengenalkan Rava dengan ibu sebagai sosok sahabat yang selalu melindungi. Biarlah jadi seperti itu saja. Ibu gak harus tau kalau ternyata Rava tidak hanya melindungi tapi juga menyakiti.
Aku tersenyum padahal sebenarnya mau menangis. Selanjutnya aku membacakan doa supaya Tuhan mengampuni dosa-dosa ibu. Ibu sudah berjuang melahirkan aku ke bumi, jadi aku juga harus berjuang membantu ibu masuk ke surga.
*
Kembali aku naik bus ke rumah sakit, membawa tas ransel yang besarnya seperti mau pulang kampung. Hari ini malamnya cerah, aku membiarkan kaca jendela terbuka, mengizinkan angin menyapa wajah. Angin malam yang segar membuat mataku terpejam. Tidak bisa menahan kantuk yang melanda. Aku tidur dan tidak sadarkan diri.
Sesuatu yang dingin terasa menyentuh pipi, membuat aku tersadar dari alam mimpi yang menghanyutkan. Aku tersentak kaget begitu tau kalau sesuatu itu adalah tangan seorang pria asing yang duduk disampingku. Wajahnya cukup tampan. Rahangnya tegas dengan hidung yang terpahat tinggi. Tapi tetap saja, dia ini adalah pria asing. Meskipun wajahnya enak dipandang, aku harus tetap jaga jarak.
"Ngapain?" tanyaku menangkis tangannya yang hampir merayap di pipi, "Jangan macam-macam ya!" timbalku dengan nada suara yang ketus dan tegas.
"Mimpi apa? Tidurnya kok sambil nangis?"
Mendapat pertanyaan darinya membuat aku meraba pipi. Ternyata benar, aku menangis. Aku segera menghapus air mata yang keluar tanpa izin.
Dia memajukan wajah lebih dekat, lalu menyentil ujung hidungku. "Makanya, kalau tidur baca doa."
Aku meliriknya, "Namanya juga ketiduran!" seruku beralasan.
"Biasanya baca doa?"
"Iya dong!" jawabku menantang, tidak mau kalah.
"Gimana doanya?"
Aku membaca doanya, lengkap dengan diawali basmalah dan diakhiri hamdalah. Dia malah tersenyum begitu aku selesai membaca.
"Kenapa senyum-senyum?"
"Ternyata Tuhan kita sama. Tinggal urusan hati."
Aku menatapnya aneh. Baru pertama bertemu sudah berani bicara soal hati. Melanjutkan aksinya, pria asing di sampingku mengeluarkan plastik indomaret yang sudah sedikit kusut dari ranselnya.
"Untukmu," dia memberikan plastik itu, aku sempat ragu menerimanya tapi dia langsung taruh dipangkuan ku.
"Isinya jambu air. Dari pohon yang merupakan ciptaan semesta, jadi tidak beracun." jelasnya seolah tau tentang kegelisahan ku.
"Kamu baru selesai menangis, jadi air ditubuhmu itu berkurang. Jambu air itu mengandung air, bagus untukmu."
Aku tersenyum sedikit, mengingat ini hari ulang tahunku tapi belum mendapat hadiah apapun dari siapapun. Seolah semesta mengirimkan pria asing ini biar aku tidak merasa sendiri di hari ulang tahun.
"Jangan dibuang. Menolak rezeki itu gak baik. Sampai ketemu lagi."
Belum sempat memberi respon apapun, laki-laki itu beranjak turun dari bus. Memangnya aku mau bertemu lagi dengan dia? Aku melihat ke dalam plastik, jambu airnya kelihatan segar. Warnanya merah menggoda.
Rupanya di dalam plastik jambu terdapat selembar struk indomaret yang cukup panjang, aku mengambilnya. Dibalik kertas itu ada tulisan yang membuat penampilannya jadi terlihat seperti surat. Aku menyimpulkan kalau tulisan dikertas adalah suatu kesengajaan. Tulisannya gak bagus, tulisan sambung yang agak amburadul. Pasti kerjaan laki-laki asing itu.
Kemarin pamanku sakit. Aku lihat kamu di rooftop rumah sakit, lagi nangis sendirian. Paginya pamanku meninggal. Aku lihat kamu lagi, dan nangis lagi dipusara. Sekarang kita bertemu lagi di bus, dan kamu nangis lagi. Sudah tiga kali bertemu, tiga kali juga kamu menangis.
Sulit ya? Terasa berat? Bertahan, ya. Kamu pasti bisa melaluinya.
Oiya, jambu air ini aku ambil dari pohon di kuburan. Tenang, aku sudah izin sama penjaga. Jadi jangan ragu memakannya, karena jambu air ini halal. Kamu gak akan diganggu sama penunggu pohon jambunya. Hehehe.
Aku tersenyum membaca suratnya. Sekali lagi, laki-laki itu benar-benar orang aneh. Tapi keanehannya malah mengasyikkan.
--
See u!

KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Roman pour AdolescentsAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...