Para pengamen itu semakin mendekat dengan tatapan mata yang merekah. Kakiku terasa lemas karena tekanan ketakutan yang menancap dengan hebat. Sambaran petir yang saling menyahut dalam kubangan langit seolah mewakili perasaan para pengamen, bahwa nafsu mereka sedang menyala-nyala tersambar dinginnya cuaca dan sepinya suasana. Aku dan Dame duduk terkulai pada aspal yang dingin, cipratan air hujan yang mengguyur badan sama sekali tidak terasa, dilengserkan dengan birahi amarah yang meledak-ledak.
Tangan kekar si topi baret mencampakkan puntung rokok sisa 3 cm dalam kubangan air, membuat baranya padam seketika. Setelah itu jemarinya yang panjang meraup kasar daguku, dia tersenyum sembari menghirup udara depan wajahku dalam-dalam. Aku meringis jijik membuat perlawanan, namun cengkaramannya semakin rekat seolah pipiku adalah squishy yang pantas diremas bebas. Dame ingin membantu, namun belum sempat tangannya mencakar si topi baret, kaki Dame diinjak bagaikan keset oleh si topi bulat. Dame merintih kesakitan.
Mereka bertiga berhasil memainkan situasi. Menyerang supaya kami membuat perlawanan, lalu setelah kami lemah tidak berdaya, mereka akan menjalankan tujuan utama. Mereka tidak hanya menginginkan tubuh kami, tapi juga barang yang kami miliki. Padahal dompet anak sekolah lebih banyak diisi kartu bersegi panjang ketimbang uang bernilai. Suasana komplek yang sepi memperlancar pergerakkan para bedebah.
Namun semesta tidak berpihak pada mereka. Tiba-tiba raungan motor yang saling bersahutan mengalihkan tatapan kami semua, aku berharap kalau orang-orang dibalik helm hitam yang kilat itu adalah jawaban atas semua harapan dan doa yang sejak tadi aku lafalkan. Aku dan Dame masih dalam posisi duduk beralaskan aspal, seluruh tubuh kami sudah basah dan menegang ditekan ketakutan, air dan darah pun sudah menyatu membentuk kubangan luka.
Para pemotor itu turun, hujan yang belum mereda tidak menghentikan mereka. Aku dan Dame tersenyum kecil, sedang para pengamen semakin menyeringai seolah tidak mau mundur. Melihat pria gagah dibarisan utama, membuat aku menghela napas. Doaku yang melafalkan permohonan minta tolong berganti dengan melantunkan ucapan terima kasih pada semesta. Zeroku sudah datang.
Zero dan Loe langsung menghampiri aku dan Dame, sedang Firza, Dewa, Roby, Max, dan Rio melawan para pengamen. Aku yakin betul kalau kami akan menang. Yang jahat akan kalah terisap oleh kebusukannya sendiri.
"Sha, maafkan aku!"
Sungguh bukan kalimat itu yang sekarang ingin aku dengar dari bibir Zero. Kehadirannya sekarang adalah hidayah yang patut aku syukuri sepanjang masa, lalu untuk apa dia meminta maaf?
"Semua akan baik-baik saja sekarang. Percayalah."
Yah, kalimat itu yang tengah aku butuhkan sekarang. Kalimat yang mampu menarik aku pada lautan ketakutan yang ganas. Kalimat penenang dari Zero berhasil menyerap benih-benih kehidupan yang baru, melengserkan kejadian kelam beberapa menit lalu, menyelamatkan aku dari ombak buas. Aku memeluknya, menikmati harum tubuhnya, setelah beberapa menit lalu tidak bisa bernapas dengan bebas. Indera penciuman yang sejak tadi tercekat tiba-tiba terasa plong, bersama Zero aku merasa nyaman dan tenang.
Tapi belum lima menit berlalu, rintihan kesakitan teman-teman Zero memecah dimensi ketenangan menjadi keraguan akan menang. Para pengamen itu rupanya lebih jago meskipun dengan jumlah yang kalah saing. Pantaslah tidak ada ketakutan yang terpatri dari wajah mereka ketika Zero dan teman-teman datang dengan gagah bergaya pahlawan. Dewa, Roby, Max, dan Rio sudah tumbang dalam perang.
Zero dan Loe harus ikut turun tangan. Sekarang tinggallah satu lawan satu. Tiga menit adalah waktu yang cukup untuk menumbangkan si topi baret dan si topi bulat, bahkan topi mereka berdua sudah terlukai lepas dari kepala, menyisakan rambut yang kelihatan tidak terurus terpoles warna kuning bambu. Tidak dengan si topi bisbol yang dingin, dia justru berhasil menaklukkan Firza, laki-laki itu merintih kesakitan dibagian perut.
Aku menelan saliva ketika Loe dan Zero melawan bersama si topi bisbol, tampaknya pria itu ahli bela diri sehingga sulit untuk dilumpuhkan. Pelukan aku dan Dame terasa semakin rekat, sampai-sampai detak jantung kami saling bersahutan seperti drum yang dipukul bertubi-tubi. Mata kami membulat sempurna ketika si topi bisbol mengeluarkan pisau lipat dari balik belakang kantong celananya. Mataku terasa ngilu melihat benda tajam itu mengilat ngeri lewat pandangan mata. Kegaduhan yang sejak tadi hanya berupa babak belur biasa tiba-tiba terobek oleh katakutan hilangnya nyawa. Aku menelan saliva yang rasanya sudah sama persis dengan empedu dalam ikan lele yang pecah. Pahit sekali.
Air mataku mengalir kembali, namun air hujan yang tidak kunjung reda dengan segera membilasnya. Sebentar Zero menoleh ke belakang, mata kami beradu pandang dalam 2 detik. Dalam situasi seperti ini, Zero menyimpulkan senyumnya yang teduh, matanya yang setajam elang mengunci pergerakkan tubuhku. Dalam kehangatan yang sejenak ini, si topi bisbol berhasil menancapkan pisau dalam genggamannya pada lengan Zero. Aku menjerit menyeru namanya, tubuhku yang lemas tiba-tiba berdaya penuh untuk meraihnya. Aku mendekap Zero dalam-dalam. Aliran darah menjadi penghalang pelukan hangat antara kami. Aku tidak bisa menyumbat alirah darah hanya dengan telapak tangan. Zeroku tertusuk. Aku merasakan perih dan pedih yang meraung-raung, menatap benci si topi bisbol. Aku mengutuknya bertubi-tubi.
"Sha, dalam hitungan tiga, tutup matamu!"
"Apa yang kamu katakan, Zero?" kataku tersendat disela-sela tangis. Sekarang ini rasanya hanya ada kami berdua, aku tidak perduli dengan yang lain. Bahkan aku tidak tau bagaimana raut wajah teman-temannya melihat lengan Zero bersimbah darah atau bagaimana si topi bisbol tersenyum puas karena menang.
"Sudah aku bilang, semua akan baik-baik saja. Jadi aku harus membuktikannya."
"Baik-baik saja bagaimana? Kamu berdarah!"
"Darah ini bagian dari perjuanganku. Sekarang, kamu yang harus berjuang. Tutup matamu."
Aku diam sejenak. Zero meraih tanganku. "Percayalah," katanya, aku nyaris tidak bisa membedakan suaranya yang memang lembut atau sedang merintih menahan sakit.
Dalam situasi yang dingin ini, bahkan Zero berhasil menyalurkan perasaan hangat. Aku menurutinya. "Berjanjilah semua akan baik-baik saja!"
"Pasti."
Setelah itu, Zero tidak lagi berada dalam dekapanku. Tubuhnya yang hangat tidak lagi berada disisi. Sebentar aku merasa kosong dan hilang. Aku tidak tau apa yang terjadi, semua menjadi gelap. Hanya indera pendengaran yang aktif sekarang. Aku mendengar bunyi kegaduhan yang melonglong berlaga ditelinga. Entah apa yang terjadi. Apakah teman-teman Zero mengeroyok si topi bisbol, atau Zero dengan amarahnya yang menyala melawan sendirian.
2 menit aku menunggu dalam kegelapan. Sampai akhirnya, sebuah kecupan mendarat pada dahiku. Aku merasakan sesuatu yang dingin dan kenyal, darah mengalir dengan ritme deras yang dua kali lebih hebat.
"Buka matamu, Sha."
Aku membuka mata, mendapati Zero dengan wajah lelahnya. Beberapa bagian wajahnya memar, bahkan sudut bibir dan pelipisnya berdarah.
"Kita menang!"
Aku menghela lega, padahal semenit lalu tertekan rasa khawatir yang meledak-ledak. "Padahal tanpa kamu perlu membuktikan, aku sudah jatuh cinta. Tadi itu nyawamu taruhannya, Zer!"
"Biar saja, biar kamu jatuh cintanya berulang kali."
Setelah kalimat itu berakhir, Zero terjatuh dalam tubuhku. Matanya terpejam. Polisi dan ambulans datang membawa harapan berikutnya. Zero bilang semua akan baik-baik saja, padahal dia sendiri tidak. Kemenangan ini justru membawa aku pada kekhawatiran. Seharusnya sejak awal aku mendengar ucapan Neisha atau menerima tawaran Zero untuk dijemput. Tapi penyesalan memang datang terlambat. Dalam keterlambatan ini, aku terus menyesal entah sampai kapan. Sampai Zero sadarkan diri atau sampai pada waktu yang belum dapat ditentukan. Kemenangan ini justru membawa aku tenggelam dalam lubang kekalahan.
Aku kalah dengan pikiran cemas dikepala sendiri. Zero sudah bilang kalau semua akan baik-baik saja. Aku hanya perlu percaya dan berdoa. Tidak bisa. Aku terus berkubang dalam ketakutan tentang Zero.
--
See u!

KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Teen FictionAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...