Bunga Matahari

74 7 0
                                    

Sampai di rumah sakit, aku mendapat kejutan. Biasanya semua yang Rava lakukan selalu menyenangkan. Tapi yang sekali ini terasa beda, karena Rava datangnya bersama Dira. Rava yang pegang kue ulang tahun, sedang Dira menggenggam bingkisan hadiah. 

Tapi aku tidak bisa menampilkan wajah kecewa, karena ada ayah dan abang yang turut menyaksikan. Abang dengan rasa bersalahnya karena tidak kasih hadiah di hari ulang tahunku, sedang ayah yang terbaring lemah di kasur dengan dengan sedikit senyum.

Rava meminta aku baca doa dan harapan sebelum meniup lilin. Aku memejamkan mata, cukup lama berpikir permintaan apa yang mestinya aku lafalkan dalam hati. Sampai akhirnya aku mengucapkan, "Aku mau ayah cepat sembuh dan Rava cepat putus." 

Setelah meniup lilin, Rava tersenyum lebar. Kalau dia tau isi doaku, mungkin Rava gak mau lagi kami menjalin sahabatan, senyumnya akan berganti dengan kemarahan. Dira memberikan bingkisan, mengucapkan selamat ulang tahun, lalu aku berterima kasih. Diluar kelihatan ramah padahal dalam hati aku mau marah-marah.

"Rava, kamu seharusnya tidak perlu ajak Dira." kataku membuat suasana hening sejenak. Sebenarnya aku gak mau melanjutkan kalimat berikutnya, tapi membuat keributan sekarang bukan waktu yang tepat. "Aku tidak enak karena jadi merepotkan Dira."

Semua orang tersenyum, gak jadi kesal sama kalimatku. 

"Tidak repot, kok. Malah aku yang minta, aku juga senang."

"Aku yang gak senang." batinku. 

"Terima kasih, sekali lagi." ujarku terbalik dengan apa yang ada di hati. Kalau sedang main drama, sekarang ini aku pegang karakter antagonis. 

Dira tersenyum semakin lebar, kalau dilihat-lihat wajahnya memang manis. Matanya berwarna kecoklatan dengan dua lesung pipi yang dalam. Pantas saja kalau Rava jatuh hati padanya. 

Berikutnya aku maju lebih dekat dengan papa, mengelus tangannya yang tertancap jarum infus. 

"Selamat ulang tahun, sayang. Maaf..."

Aku menggeleng, tidak mau ayah melanjutkan kalimatnya. "Jangan minta maaf, dong! Sekarang yang terpenting ayah sembuh. Udah gimana kondisinya sekarang?" 

Ayah tersenyum, setitik air mata nimbul dari ujung matanya. "Sudah lebih baik." balasnya lemah. 

Aku bergerak memotong kue ulang tahun, mungkin saja abang belum makan malam. Lumayan kan, bisa untuk ganjal perut. Potongan kue pertama aku kasih buat abang karena ayah belum bisa makan yang macam-macam. Selanjutnya aku siapkan untuk Rava, tapi rupanya dia berbagi sama Dira. Melihat mereka saling suap membuat keinginanku semakin kuat supaya mereka cepat putus. 

"Hadiahnya nyusul, ya!" seru bang Pratama sambil mengunyah. 

Aku menaikkan bahu acuh, "Mentahnya aja." balasku kurang ajar. Sudah tau biaya pengobatan ayah tidak sedikit, malah minta uang lagi. 

Bang Pratama mengoleskan krim kue ke wajahku, mereka semua tertawa tapi aku mendengus sebal. Sikap menyebalkan abang masih melekat.


*


Aku mengantar Rava dan Dira sampai ke parkiran, sekalian keluar sebentar buat cari makan malam buat aku dan abang. Tidak lupa juga membelikan ayah roti, aku beli yang tawar, rasa coklat, rasa keju, dan juga rasa srikaya. Untuk jaga-jaga saja kalau tengah malam ayah lapar. Katanya, kalau orang sakit itu lidahnya jadi tidak enak, jadi aku beli banyak biar ayah bisa pilih nanti. 

Bicara soal Rava, sepertinya dia belum tau juga kalau sahabatnya ini cemburu. Perhatiannya untuk Dira terlalu ketara, tidak menjaga perasaanku. Seperti tadi, Rava memakaikan helm untuk Dira. Aku memandangnya dengan segenap cemburu yang terpendam. Helm yang seharusnya aku kenakan karena biasa pergi dan pulang sekolah sama Rava, sekarang Dira yang punya hak penuh. Aku jadi kepikiran, gimana masa liburan semester yang tinggal seminggu empat hari lagi berakhir? Apa aku tidak bisa pergi bareng lagi sama Rava? Aku menghela napas kasar. Semoga sebelum masa liburan berakhir, hubungan mereka kandas duluan. 

Kembalinya ke ruang rawat ayah, abang buru-buru menghampiri padahal aku belum sempat tarik napas dulu. Dia memberikan satu buket bunga matahari, aku menerima dengan  senyum bahagia. "Katanya hadiahnya nyusul? Kok sekarang ada? Tapi, terima kasih ya." 

Bukannya bilang sama-sama, abang malah menarik aku keluar ruangan. Ayah sedang tidur, mungkin dia gak mau buat ayah terbangun. 

"Kenapa sih?" tanyaku kesal, sudah kesulitan membawa plastik makanan dan buket dalam satu waktu, malah ditarik-tarik lagi. 

Abang berkacak pinggang, kalau sudah begini tandanya dia lagi marah. Iya, dia itu punya sikap yang mirip ibu-ibu kalau lagi marahi anaknya. Bedanya bang Pratama marahi aku, adiknya, karena dia belum punya anak. Nikah saja belum. Pasangan si ada. Tapi gak tau deh, hubungan mereka serius atau tidak. 

"Kamu sudah punya pacar?" 

Aku menggeleng.

"Bohong. Terus itu apa?" 

"Apa?" tanyaku heran, gak mengerti apa maksudnya.

"Itu!" dia menunjuk buket pemberiannya yang sekarang berada dalam dekapanku, "Cowok kamu kan yang kasih?"

Aku membulatkan mata sempurna. "Cowok?" tanyaku semakin gak mengerti. 

Bang Pratama meraih kedua bahuku, menggenggamnya erat sambil menatap mataku dalam-dalam. "Dengerin," ujarnya menyita seluruh fokus ku. 

"Tadi waktu kamu keluar ada cowok yang datang. Wajahnya? okelah! Agak cakep. Tapi tetap gantengan abang. Dia datang sambil bawa ini," abang kembali menunjuk buket, "Katanya buat kamu. Terus dia langsung pamit pergi karena gak bisa lama-lama. Oiya! Dia juga kasih doa semoga ayah cepat sembuh."

Aku menelan saliva, pantas saja abang heran dan terkejut. Bahkan aku jauh lebih heran dan terkejut. "Dia siapa, ya?" tanyaku pada abang dan juga diri sendiri.

"Jangan pura-pura gak tau." 

"Beneran. Sumpah deh!"

"Coba di ingat-ingat. Lagi dekat sama siapa?"

Aku mengingatnya, tapi sejauh ini rasanya gak ada deh. Kalau soal cowok, aku dekatnya cuma sama Rava. Walaupun yang dekat gak selalu berakhir jadian. Deketnya sama aku tapi jadiannya sama orang lain. 

Beralih mikirin Rava, aku mengembalikan fokus. "Gak ada bang!" ujarku pasrah. Karena semakin aku berpikir, jawabannya semakin jelas. Kalau memang aku gak ada dekat sama siapa-siapa. Antara aku yang kelihatan gak menarik atau cowok-cowok yang gak tau ada manusia bumi sekeren aku yang masih sendiri.

"Sama cowok yang ketemu di bus?" 

Bibirku menganga mendengarnya. Hah? Cowok itu? 

"Dari dia?"

"Iya, dia memperkenalkan dirinya begitu."

"Terus ayah tau?"

"Dia bahkan salim sama ayah waktu datang dan pamit pulang." 

Aku gak bisa berkata-kata. 

"Dengerin lagi." Abang kembali menggenggam bahuku setelah yang sebelumnya dilepas, "Jatuh cinta memang indah, tapi jangan sampai lepas kendali. Maksudku,"

Aku melepas genggaman abang dengan paksa padahal dia belum selesai bicara, "Bicara apaan? Jatuh cinta? Aku bahkan gak tau siapa namanya!" 

Alis abang bertautan, seolah bertanya apakah yang aku ungkapkan itu benar.

"Kami itu baru bertemu di bus sekali, waktu aku dalam perjalanan ke rumah sakit!"

"Sungguh?" 

"Untuk apa aku berbohong?" 

Abang menilik mataku, mencari kebohongan disana. Tapi tidak ada, karena memang aku berkata jujur.

"Tapi kenapa dia kasih perhatian?" tanyanya melepas tanda tanya di kepala.

Itu dia masalahnya bang, aku sendiri tidak tau jawabannya. Aku masuk ke ruang rawat ayah, meninggalkan abang dengan pertanyaannya. Perutku jadi tambah lapar.






--


See u!

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang