Hujan

27 1 0
                                    

Mie pedas level dewa berhasil membuat semangat kami terbakar. Bersamaan dengan itu, keringat sebesar biji jagung mengisi arena sekitar dahi. Untuk meredakan rasa pedas yang mengalun hebat disekitar mulut, Dame membuatkan teh manis hangat yang gulanya dikorupsi dua sendok untuk menanggulangi rasa pedas. Neisha tidak menyentuh teh manis meskipun sudah dibuatkan 3 gelas, katanya rasa pedas semakin menyala dan meledak hebat di dalam mulut. Padahal hanya sebentar tapi kemudian akan memberikan efek lega, tapi anak itu tidak menyanggupinya. Si primadona lebih pilih untuk menghabiskan sebotol minuman dingin dengan cita rasa manis. Setelahnya kami melahap buah apel dan melon dari kulkas. Neisha yang mengajak, tapi dia yang mengeluh. 

Aku melirik jam yang melingkari pergelangan tangan, sambil manyantap buah apel yang bulatnya tidak lagi sempurna. Kami makan langsung bulat-bulat, tidak ada yang bersedia memotongnya supaya rapi. Sudah pukul 22.23 wib.

"Abang kok belum datang, ya?" tanyaku dengan mulut terisi. 

Dame dan Neisha saling bertatapan, sudah terlalu malam buat kami anak perempuan yang pergi dari pagi dan jam segini belum pulang. Ternyata untuk meredakan rasa pedas saja memakan waktu satu jam lebih. Aku buru-buru menelepon abang yang belum juga ada tanda-tanda kehadirannya untuk menjemput.

"Mungkin bang Pratama lupa, Sha!" Neisha berjalan menuju kulkas, mengeluarkan sepiring semangka kuning yang sudah dipotong berbentuk segitiga berjejer membentuk satu barisan. Rumah Neisha adalah sarang makanan jika dibandingkan dengan rumahku atau rumah nantulangnya Dame. Jadi tidak heran kalau kami lebih senang berkandang disini.

"Lagian kalian tidur disini aja, kali! Temani aku!"

"Gak bawa baju! Besok kami berangkat sekolah dengan seragam yang sudah sangat harum ini?" 

"Kan udah aku bilang jauh-jauh hari, salah siapa? Makanya temannya ngomong, didengerin!"

Dame mencomot sepotong semangka, menikmati buah segar alami itu jauh lebih baik dari pada membuat Neisha mengerti, bahwa mendapat izin dari nantulangnya untuk menginap di rumah teman tidak semudah membalikkan telapak tangan. Nantulangnya sangat perhatian, kasih sayang yang ditorehkan sudah seperti ibu kandung. Karena itulah Dame menjadi anak penurut yang mengikuti peraturan rumah, tidak ingin membatah dan berbuat ulah.

Aku sendiri tidak ada waktu untuk ikut berkontribusi dalam perdebatan mereka, karena telepon untuk abang belum juga mendapat jawaban meski sudah tiga kali panggilan. "Gak diangkat!"

"Kita pulang sendiri aja."

"Kalian berdua udah gila?"

"Bukan gila, lebih tepatnya berani!" Dame mulai merapikan tasnya, aku turut mengikuti, sedang Neisha hanya geleng-geleng kepala melihat temannya yang lebih cocok dibilang sok berani. 

"Mau pulang naik apa?"

Dame melirik jam yang tertera dilayar ponselnya, "Jam segini masih ada angkutan umum, jalan ke simpang gak jauh, kan?"

Neisha tersenyum jail, mencoel bahu Dame, berencana membuat perdebatan lagi. "Telepon dong pacarnya! Minta jemput, katanya, sayang?"

Aku dan Dame saling bertatapan, yang Neisha ucapkan ada betulnya juga. Tapi Dame lebih memilih untuk menangkisnya. "Loe pacar aku. Bukan tukang ojek antar jemput kaya Firza!" 

Neisha mendengus, kami berdua tertawa. 

"Yah, untuk apa ada pacar kalau gak bisa dimanfaatin?"

Dame melangkah lebih dekat, menantang Neisha dengan mantap. "Dengar ya, anak kecil. Pacaran itu saling mengisi, bukan memanfaatkan! Lagian urusin aja perasaanmu, kasian Firza yang digantung terus!" tegasnya sambil menjulurkan lidah, Neisha menggerakkan tangannya kesal, berbuat seperti harimau yang ingin menerkam.

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang