Rava, Aku Memilihnya.

32 2 0
                                    

Pagi-pagi sekali aku dibuat gelagapan karena belum selesai siap-siap tapi ayah sudah heboh memanggil namaku berulang kali dari luar rumah. Dengan kecepatan yang cukup maksimal, aku meluncurkan gerigi sisir untuk sedikit menghaluskan rambut yang tidak dicuci kemudian dengan segera dikuncir. Meluncurkan tiga semprot minyak wangi aroma vanila pada seragam sekolah, lalu memoles wajah dengan bedak setipis kulit bawang dan terakhir menyapu permukaan bibir dengan pelembab. Merasa sudah siap walaupun tidak sepenuhnya, aku langsung meluncur keluar rumah menghampiri sumber suara ayah yang sejak tadi memanggil setiap semenit sekali. 

"Sudah siap!" seruku dengan dada yang setengah naik turun, sedang tanganku sibuk merapikan seragam yang kurasa masih agak berantakan.

"Dari tadi ditungguin, dek! Kasian itu temannya."

Aku menyalim ayah sambil sedikit merapikan anak rambut yang belum bisa turut dikuncir karena ukurannya masih terlalu mini. Rasanya aku benar-benar tidak siap hari ini, tadi malam lupa waktu hanya karena bersiap menabung segenap rindu dengan Zero sampai-sampai tidur kemalaman.

"Maaf, kesiangan, yah! Asha berangkat dulu!"

"Gak sarapan?"

"Gak keburu, yah."

Tiba-tiba bang Pratama muncul dari balik pintu layaknya seorang pahlawan kepagian. Abang menyerahkan tempat bekal yang katanya, isinya nasi goreng sosis diaduk rata sama dua telur. Sebagai penunjang pelengkap, diberi taburan daun seledri segar serta bawang goreng crispy. Aku menerimanya dengan agak ragu, semoga saja rasa masakan abang tidak seburuk yang aku bayangkan. Karena rasanya selama ini abang tidak pernah memasak, kecuali mie instan yang hanya ditumiskan bawang dan cabai sebentar lalu dimasukkan telur setengah matang saja sudah enak, makanan sejurus jutaan manusia. 

Aku segera berpamitan dengan ayah dan abang, begitu pula dengan Loe yang juga turut menyalim dan izin pamit. Kami segera meluncur dengan motor besar, sepertinya ini kali kedua bagiku setelah yang pertama bersama Zero. Motor besar cukup membuat aku terasa lebih tinggi, hanya saja memakan tenaga pinggang yang mengharuskan tubuh sedikit condong ke depan.

Sebenarnya aku tidak heran ketika Zero mengutus Loe pagi-pagi sekali datang ke rumah untuk menggantikan perannya beberapa hari ini. Mengantar aku pergi sekolah, bahkan kalau bisa katanya akan dijemput juga. Tadi malam Zero mengatakannya dengan tenang tapi nadanya terkesan tegas. Zero tidak ingin Rava mengambil kesempatan untuk dekat-dekat lagi sama aku, jadi Zero tidak memberi cela dan kesempatan. Katanya lebih baik mencegah dari pada mengobati. Percakapan kemarin agak sensitif buat Zero tapi bagiku justru terasa hangat yang berkesan posesif. 

"Aku dan Rava hanya teman."

"Dulu kita juga teman, Sha."

"Dasar tukang cemburu!"

"Terserah kamu mau bilang apa. Karena bagi aku lebih baik mencegah dari pada mengobati."

"Mencegah apanya?"

"Mencegah perasaan kamu pada Rava timbul lagi."

Sebenarnya yang Zero katakan tidak sepenuhnya salah. Hanya saja ini terlalu agak berlebihan untukku. Dia memperlakukan aku layaknya seorang ratu. Aku mendarat pada istana yang tepat, dimana rajanya menyambut penuh cinta. Zero menyediakan singgasana yang nyaman untuk kami berlabuh dalam perjalanan hubungan yang baru saja dimulai lebih serius. Bahkan sekarang Zero mengerahkan pasukan prajuritnya untuk menyeimbangi kenyamanan dan keamanan untukku, ketika dia tidak bisa berada disisi padahal hanya sementara waktu.

"Memangnya besok siapa yang akan jemput aku, Zer"

"Aku masih memikirkannya, siapa temanku yang tepat dan beruntung itu."

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang