Luka

28 2 0
                                    

Steak yang tersaji terasa nikmat, Neisha pandai memasaknya dengan sempurna. Daging yang empuk berpadu dengan elemen bumbu yang lezat. Tapi jujur saja, selera makanku tidak sehebat biasanya, apalagi melihat Rava terus-terusan memberikan steak ke piring Dira. Pikiranku juga masih memikirkan soal abang, jadi wajar saja kalau aku tidak bisa terlalu menikmati makanan yang tersaji di depan wajah. Teman-teman yang lain sudah pulang duluan, sengaja aku kabarin Zero agak belakangan supaya yang lain tidak heboh. Khususnya Rava, aku tidak mau dia bertemu dengan Zero, karena menurutku mereka berdua tidak cocok. 

Setelah sendirian di depan kafe, aku menelepon Zero, tapi tidak ada jawaban. Aku mengiriminya pesan sampai sebanyak tiga kali, tidak dibalas juga. Aku menghela napas, merasa agak kesal. Zero sendiri yang minta buat jangan lupa ngabarin dia kalau sudah selesai, tapi malah dia sendiri yang gak bisa dikabari. Melirik jam yang melingkar dipergelangan tangan, membuatku menggerutu. Sudah jam 3 lebih. Tidak mungkin aku menunggunya terus, karena aku juga harus masuk kerja. Aku memutuskan untuk naik bus saja. Zero membuat pikiranku semakin merayap, bertambah, dan bercabang. Dia membuatku semakin gelisah.

Melewati keheningan di dalam bus, aku melihat pemandangan lalu lintas lewat jendela. Aku biarkan kacanya terbuka, membuat rambutku yang dikuncir kuda melambai terhembus angin. Mataku tak henti memperhatikan semua yang terekam lewat mata, mulai dari bapak polisi yang mengatur lalu lintas, anak jalanan yang sedang bermain gitar, pejalan kaki yang terburu-buru, juga para pengendara motor yang menyalip kendaraan besar. 

Mataku hampir terpejam sebelum akhirnya mendengar deru motor besar yang saling sahut-sahutan. Aku memasang penglihatan dengan fokus, mendapati deretan motor besar yang serba hitam melewati bus yang aku tumpangi. Aku menelan saliva, terasa hambar. Jantungku berdegup sambil tetap pasang pandangan, memikirkan seorang pria yang melewati janjinya. 

Zero, perasaanku mengatakan kalau orang-orang di balik helm itu adalah Zero dan teman-temannya. Pasti itu geng motor Fortress, Zero pasti salah satu diantara para pemotor itu. Aku tersenyum masam, hari ini semesta bukan berpihak padaku. Karena sebenarnya sekarang hariku terasa agak mengecewakan.

Aku turun disimpang raja, dimana halte bus berada. Harusnya aku lanjut perjalanan ke jalan istana, baru masuk di gang mangga biar sampai ke rumah. Tapi langkahku justru terbawa ke jalan mahkota, tempat dimana bengkel bang Pratama berada. Sudah lama aku tidak mengunjunginya, dan tiba-tiba rasanya ingin saja. Padahal aku tau, kalau waktuku tidak banyak, karena sebentar lagi jam masuk kerja. 

Sama seperti aku, abang dan ayah kaget akan kehadiranku. Karena jujur saja aku tidak punya alasan tiba-tiba sudah sampai di bengkel. Suasana bengkel masih kelihatan sibuk, setiap orang pegang pekerjaan masing-masing. Sementara ayah duduk tenang di meja kasir, aku menghampirinya. 

"Dengaren datang, dek?"

"Cuma mau lihat-lihat aja." kataku berasalan.

"Hari ini gak masuk kerja?"

Aku melirik jam tangan lagi, "Masih ada waktu 15 menit lagi."

Ayah tertawa, menyadari sikap anehku. Ayah memberikan sebotol air mineral dingin dari kulkas, "Minum dulu, biar pikirannya jernih."

Aku tersenyum kecil, padahal aku tidak haus. "Terima kasih."

Setelah itu ayah menghampiri satu pelanggan yang baru memarkirkan mobilnya, mungkin ingin bertanya masalah apa yang harus diperbaiki. Aku meneguk minum pemberian ayah, tidak banyak tapi rasanya cukup melegakan. 

Aku melihat abang yang sekarang berada di bawah mobil, tidak lagi mengenakan kemeja kotak-kotaknya yang warna biru. Karena sekarang tubuh abang terbalut sama seragam bengkel warna biru juga, tapi lebih tua, sama seperti karyawan yang lain. 

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang