Zero kembali setelah 15 menit, membawa dua botol air mineral. Dia memberikannya untukku setelah membuka tutupnya.
"Terima kasih."
Zero tersenyum, lalu minum miliknya sendiri. Dia kelihatan lelah, menghabiskan lebih dari setengah botol dalam waktu kurang dari 2 menit. Sedangkan aku hanya minum tiga teguk saja. Aku tidak haus, tapi khawatir. Sejak tadi aku menunggu kedatangan Zero untuk mendengar penjelasan tentang Ela.
"Gimana Ela?"
"Sudah baikan. Sekarang lagi tidur."
Aku mengangguk, agak lega. Rasanya aku ingin bertanya lebih banyak, tapi kubiarkan Zero ambil andil. Biar dia dengan caranya untuk menceritakan apa yang dia ingin jelaskan. Aku tidak mau menekan Zero, aku akan beri kebebasan untuknya.
Zero meletakkan botol di sampingnya, bulir keringat terlihat semakin jelas memenuhi dahinya. Aku mengambil sebungkus tisu mini dari dalam tas, biasanya selalu kubawa kalau pergi sekolah, tapi sekarang aku membawanya juga kalau pergi kerja. Aku selalu membawa tisu, kebiasaan ini sudah berjalan sejak masuk SMP. Aku meletakkannya pada sisi tengah antara aku dan Zero.
"Kamu kelihatan lelah."
Zero tersenyum, tidak langsung mengambil tisunya. "Gak kamu yang lap? Biar romantis?"
Aku menggeleng, menutupi rona merah yang mungkin perlahan akan bertengger di pipi. "Lap sendiri, Zero!" kataku tegas.
Zero tertawa, "Belum waktunya ya?"
"Dasar aneh!" gumamku, tapi sepertinya dia mendengar.
"Kamu udah suka belum samaku?"
"Belum."
Zero semakin tertawa.
Zero itu memang aneh. Suka kasih pertanyaan yang agak lari sama suasana, pertanyaan yang kadang suka buat aku gelagapan untuk menjawabnya. Seperti saat ini, dimana seharusnya suasana menjadi hening karena kejadian beberapa menit lalu, Zero justru membawanya jadi lebih cair. Aku tidak mau bertanya, tapi Zero malah tidak cerita padahal aku sudah menunggu.
Mungkin Zero belum siap untuk menjelasakan, jadi aku yang harus bergerak duluan. "Tadi, Ela begitu, karena, aku, ya?" tanyaku ragu, kalimatku tidak berjalan lancar. Berhenti-berhenti juga dengan suara kecil.
"Ela kalau ketemu orang baru memang begitu, Asha."
"Harusnya sejak awal kamu jangan ajak aku ketemu dia."
"Gimana aku bisa jelasin semua kalau kamu gak ketemu dia?"
Aku menaikkan bahu, "Kamu bisa jelasin aja, kan?"
"Gak bisa gitu dong. Aku kan gak mau buat kamu bingung sendirian." Zero mengedipkan sebelah matanya, aku kembali dibuat senyum-senyum padahal sudah mau marah aja.
"Ela itu tetanggaku, temanku sejak kecil, sahabatku, dan pacarku."
Aku dibuat terdiam mendengar penjelasan Zero padahal baru satu kalimat. Senyumku mendadak pudar tanpa kendali. Rasanya tidak terima dengan ucapan Zero yang melintas ditelinga.
"Tapi sejak kejadian itu, Ela bukan lagi siapa-siapa dihidupku. Dia bukan Ela yang aku kenal. Kami selesai."
Aku semakin mengunci mulut mendengar kalimat berikutnya.
"Dia juga tidak mengenalku, Sha. Dia tidak mau berteman ketika aku mengenalkan diri sebagai Zero. Dia mengamuk dan menangis, jauh lebih mengerikan dari yang kamu lihat tadi."
Aku dibuat terkejut sekarang. "Bastian?"
Zero mengangguk, masih dengan mempertahankan senyumnya. "Iya. Dia mengenalku sebagai Bastian sekarang."

KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Ficção AdolescenteAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...