Awan Hitam

48 6 0
                                        

"Jadi udah gak marah lagi, kan?" tanya Zero begitu kami sampai di ruang khusus karyawan. Ruang ini yang pertama kali aku kunjungi bersama ibunya, waktu itu dalam rangka melamar kerja. Sekarang hanya kami berdua yang ada didalam, sedang karyawan yang lain sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sebenarnya aku masuk ke ruang ini untuk menaruh tas saja, tidak sadar kalau ternyata Zero mengekor.

 "Kamu masih ada hutang penjelasan sama aku." ujarku pura-pura biasa saja, padahal sebenarnya aku tidak siap dengan penjelasan yang akan Zero jabarkan. Agak cemas kalau akhirnya kami malah jadi renggang setelah semua jelas. Karena beberapa hal rasanya ada yang lebih baik disimpan dari pada diperjelas, karena semakin jelas suatu hal bisa terdapat pembatas didalamnya.

"Sekarang juga bisa."

"Aku tidak mau. Sudah masuk waktu kerja!"

Zero tersenyum, menatapku seperti terkagum-kagum. "Gak salah aku jatuh hati sama kamu."

Aku terdiam, memandang Zero dengan lekat. Dulu sebelum mendengar nama Ela, kalimat Zero mengalun indah di telinga, membawa suasana hati jadi menenangkan. Tapi sekarang berbeda. Ada yang mengganjal dihati, seolah Zero tidak benar-benar mencintaiku. Kalimatnya hanya omong kosong yang gak bisa aku percaya. Apa yang keluar dari bibirnya terasa bagaikan kalimat penenang saja.

"Aku gak serius waktu bilang kamu harus terima cintaku. Tapi aku selalu serius waktu bilang aku mencintaimu, Asha."

Aku memandang ujung sepatu, memakai apron yang sudah menjadi milikku waktu pertama kali masuk kerja, tidak tau kalau sudah keluar. Zero membantuku mengikat talinya padahal aku tidak minta, disatu sisi aku menyukai momennya tapi disisi lain ingin menolak perlakuan manisnya. 

"Aku harus kerja sekarang." kataku lagi padahal tidak diberi tau Zero juga paham.

Zero tersenyum melepas kepergianku, melihat senyumnya yang manis itu aku menyadari satu hal. Kalau sekarang Zero sedang kecewa. Entah untuk dirinya yang tidak bisa meyakinkan hatiku atau malah untukku yang tidak bisa menaruh percaya padanya. 

Hari ini aku mulai bekerja bersama satu karyawan yang usianya 4 tahun lebih tua dariku. Namanya kak Keli, dia diminta om Bagas untuk mengajariku melayani pelanggan. Untuk awalnya, aku cukup memperhatikan saja, lalu setelah beberapa kali baru terjun melayani langsung tapi masih dalam pantauan kak Keli. Ketika aku terlihat gugup, kak Keli tidak langsung mengkritik, dia memberikan senyuman dan membantuku menangani pelanggan.

"Melayani pelanggan jangan terlalu kaku, Asha. Kamu kelihatan banget gugupnya, sampai lupa senyum."

Aku hanya tersenyum, menyadari kesalahan diri sendiri. Aku juga tau kalau Bapak paruh baya dan seorang anak laki-lakinya yang aku layani tadi tampak menahan senyum.

"Sudah gapapa!" kak Keli mengelus punggungku, "Ini kan baru pertama, wajar saja. Kakak juga begitu dulu."

"Oiya? Untuk bisa lancar, kak Keli butuh waktu berapa lama?" 

Kak Leli memperlihatkan ekspresi berpikir, "Seminggu mungkin! Apalagi menunya disini kan pakai bahasa Inggris. Jadi nyesel zaman sekolah dulu suka tidur dikelas kalau sudah masuk pelajaran bahasa Inggris!"

Kami tertawa bersama. Meskipun mengobrol, kami tetap melakukan suatu pekerjaan. Kalau tidak, bisa ditegur om Bagas dong. Seperti sekarang ini kami sedang membersihkan meja pelanggan yang baru selesai makan. 

Mendengar pengalaman kak Leli tidak membuat aku berkecil hati, tapi justru semakin semangat untuk mengasah kemampuan diri. Pelajaran bahasa inggris aku tidak pernah ketiduran, aku menyukai setiap mata pelajaran meskipun beberapa materi sulit dipahami. Aku berusaha kasih yang terbaik, menjalani sepenuh hati. Kalau dalam pelajaran aku tidak ketinggalan, pasti untuk soal pekerjaan aku cukup bisa untuk diandalkan. Semua hanya tentang waktu dan kebiasaan. Aku harus coba lagi dan lagi sampai akhirnya bisa seperti Kak Leli, melayani pelanggan dengan begitu sigap dan mempesona. 

Biar pengalaman kerja di kafe kita ini aku jadikan sebagai suatu jalan untukku menuju kesuksesan, membuka pengamatan mata untuk menjadi lebih berani dilapangan. Ketika teman-teman sebayaku sedang menikmati masa liburannya, seperti Neisha dan Dame misalnya, aku justru menggunakan waktu menemukan pintu untuk mengakses hidup menjadi lebih baik dan pikiran semakin luas. 

Ternyata dibalik masalah yang aku hadapi, semesta sisipkan pelajaran yang bisa aku petik hikmahnya. 



*



Hari ini malam terasa lebih gelap, awan hitam menutup cahaya rembulan, membuat alat penerang malam itu menjadi redup. Bintang juga tidak terlihat dan angin yang tersaji mengayunkan dedaunan dengan lebih kencang, seolah awan hitam akan segera tampil menumpahkan airnya. 

"Aku langsung pulang ya, gak pamit lagi sama ayah dan abang."

Aku mengangguk, sebenarnya cukup khawatir kalau sebelum sampai rumah Zero malah diguyur hujan. Karena suasana malam hari ini terasa kelam tidak bersahabat. "Kamu ada jas hujan?" 

"Kan belum hujan?"

"Tapi sudah mau hujan."

"Gapapa, cuma air kan?"

Aku menghela napas, Zero malah tersenyum. Wajahnya itu terlalu ramah dan menyenangkan kalau dipandang. Tapi aku tidak bisa menikmatinya dengan bebas, mengingat ada Ela. Sama Rava ada Dira, Eh, sama Zero juga ada orang lain! 

"Tunggu sebentar." Aku berlari menuju garasi untuk mengambil jas hujan di dalam plastik yang tergantung dipaku dinding, kemudian langsung buru-buru kembali sebelum hujan turun. "Ini jas hujan, buat jaga-jaga."

Zero tersenyum, menerimanya lalu digantung. "Kalau tau diperhatikan begini, aku jadi mau cuacanya hujan aja tiap hari."

"Zero!"

Dia tertawa, tampak senang. "Aku pulang, ya. Jangan lupa buat rindu, biar kita ketemu lagi." 

Aku hanya tersenyum, "Hati-hati."

"Sha, jangan diam lagi kalau marah, ya. Aku gak suka hubungan kita renggang."

Aku dibuat malu sama kalimat hangatnya yang malah terdengar seperti menyindir. "Makanya jangan buat aku marah!"

"Aku sih suka kamu marah, karena tandanya sayang."

Lagi-lagi aku gak bisa menahan senyum dibuatnya. Zero mengedipkan mata, "Sampai ketemu lagi." ujarnya lalu melesat pergi. Kepergiannya membuat aku kembali takut kalau dia tidak akan kembali. Kepalaku belum merasa tenang semenjak nama Ela melintas ditelinga.

Aku terlalu banyak berpikir tentang sesuatu yang membuat kepalaku jadi sakit. Padahal seharusnya aku tidak usah begitu khawatir tentang hal-hal yang belum aku temukan jawabannya. Ibaratnya seperti mengerjakan soal matematika, semakin khawatir maka akan semakin susah untuk memecahkannya.

Harusnya aku mengerti, bahwa tidak semua hal akan berakhir buruk. Begitu juga tentang Ela. Kalau Zero masih berani mendekatiku, berarti dia menyimpan alasan kuat yang membuatnya tetap bertahan di sisiku. Seharusnya aku mengikuti langkahnya yang tenang dan tidak perlu terlalu banyak menyimpan cemas. Aku hanya perlu mengikuti alur yang semesta sudah siapkan. 

Tapi, aku sudah pernah patah hati karena bergerak mengikuti alur, menyimpan perasaan sendirian. Aku hanya tidak ingin hubunganku dengan Rava kembali terulang kisahnya. Aku terlalu banyak menyimpan takut, padahal kalau memang Zero dititipkan semesta untukku, maka seharusnya aku tidak perlu takut kalau dia akan pergi.

Tunggu, aku berpikir terlalu jauh. Memangnya kenapa kalau Zero pergi? Dulu dia juga tidak ada di hidupku. Kami juga baru berkenalan kurang dari sebulan.






--



See u!

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang