Lega

31 3 0
                                    

Sudah jam pulang kerja, hujan tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Justru air yang mengalir dari langit terasa semakin menjadi. Aku memandang rentetan air yang jatuh mencium tanah, pasti sekarang orang-orang sedang menikmati makanan hangat berupa mie instan, atau sebagiannya lagi sembunyi dari dalam selimut. 

Tanganku terulur, menampung air hujan yang terasa dingin. Menunggu adalah kegiatan yang tidak menyenangkan. Tapi aku harus melakukannya sekarang. Ternyata tidak begitu buruk meskipun sudah rindu sama kasur di kamar. 

"Kita tunggu reda?"

Aku menoleh, Zero sudah berdiri tepat disampingku. Kafe sudah tutup tapi pintunya belum dikunci, kami baru selesai bersih-bersih. Sekarang kami tengah berada di tempat parkir yang bisa kasih perlindungan supaya tidak basah. "Iya."  

"Atau mau di pesan taxi online?"

"Gausa. Sebentar lagi sepertinya reda."

Zero mengangguk, setuju.

"Ada orang yang menyukai hujan, karena menganggapnya sebagai rahmat dari sang pencipta. Ada juga yang tidak suka hujan, karena merasa aktivitasnya jadi terganggu. Kamu tim yang mana, Sha?" tanyanya mengisi kekosongan supaya kami tidak bosan dalam menunggu. Karyawan lain ada yang menorobos hujan, ada juga yang masih menunggu di dalam kafe. Jadi sekarang, hanya kami berdua yang ada di tempat parkir. Cuma aku dan Zero.

Aku menarik tangan yang sudah basah karena kena hujan. "Aku suka hujan. Kamu gimana?"

"Aku juga suka, apalagi kalau hujannya datang waktu lagi sama orang yang aku suka. Aku jadi semakin suka."

Aku tersenyum mendengar jawaban Zero. Aku memang menyukai hujan. Tapi aku tidak tau kalau Zero menyukainya juga. Bagiku, hujan punya banyak makna dalam menyampaikan pesan. Lewat hujan kita bisa belajar bahwa jatuh tidak selamanya buruk, sesekali kita jatuh untuk bisa memetik pelajaran, untuk memberi waktu bagi diri sendiri supaya kembali melangkah dan bangkit. Hujan selalu kasih manfaat walaupun beberapa orang benci akan kehadirannya, itu tandanya hujan berhasil menyisipkan makna sabar di dalamnya. Hujan juga dapat menyembunyikan kesedihan seseorang, karena hujan mampu meleburkan air mata seseorang supaya tidak terlihat oleh orang lain. Menyukai hujan bukan berarti harus mandi hujan, kan? Sama seperti ketika kita menyukai seseorang, tapi tidak harus memilikinya. 

"Sha, tidak semua yang kelihatan buruk itu buruk."

Aku menoleh mendapati kalimat Zero. Aku tau kemana arah tujuan pembicaraannya, "Yang kelihatan baik saja belum tentubaik, gimana yang buruk, Zero?"

"Makanya, kita gak bisa ambil kesimpulan dari apa yang terlihat aja, Sha."

"Aku bukan buat kesimpulan. Aku cuma berpendapat."

"Pendapat itu gak semua bisa diterima, Sha."

"Iya, tau. Kamu salah satu orang yang tidak terima pendapatku, kan?"

Zero diam sebentar, matanya semakin tajam dalam menatapku. "Aku memang tidak setuju sama pendapatmu, tapi aku suka sama kekhawatiran yang kamu berikan, Sha."

"Kamu selalu bilang suka. Padahal kalau suka, seharusnya dijaga biar tidak hilang."

"Kamu mau hilang?"

"Hujannya sudah reda." ujarku mengalihkan topik percakapan.

"Padahal, baru aja tadi kamu masuk untuk mengenal duniaku." keluh Zero dengan nada kecil yang kecewa. Aku tertegun mendengarnya, ada perasaan bersalah yang tidak bisa ku terima kehadirannya. 

Hujan sudah reda tapi masih ada air yang jatuh. Jadi kami mengenakan jas hujan. Aku pakai warna hijau, sedang Zero warna biru. Suasana malam begitu sepi dan dingin. Jalanan menjadi basah dan licin, beberapa sisi jalan ada yang berlubang sehingga tergenang air. Pohon-pohon menjulang kelihatan lebih segar seperti habis mandi. Zero mengendarai motor dengan hati-hati untuk menghidari kecelakaan. 

Aku tidak tau mengapa perasaan khawatir menyeruak memenuhi dada. Padahal tidak ada sesuatu yang terjadi. Padahal yang kelihatan buruk belum tentu buruk, seperti kata Zero. Padahal semua baik-baik saja.


*


Sampai di rumah aku langsung mebersihkan diri, pakaian yang aku kenakan tidak terlalu basah. Jas hujan yang kami pakai, meskipun tipis tapi bisa kasih perlindungan. Aku beranjak ke dapur. Sepertinya abang dan ayah sudah tidur, karena sebagian lampu sudah dimatikan. Aku kembali ke kamar dengan roti sobek rasa coklat yang tinggal setengah, pemberian dari Neisha dan Dame. Soal makan malam, aku tidak pernah takut melakukannya. Karena sebanyak apapun aku makan, tubuhku segini terus. Berat badanku selalu berkisar antara 40kg - 45kg, dengan tinggi badan sekitar 155cm. 

Sambil menghabiskan roti dan menunggu rasa kantuk menyerang, aku mengeluarkan buku. Tapi ada sesuatu yang bukan punyaku berada di dalam tote bag. Sebuah patung emotikon mini berwarna kuning yang tersenyum dengan pipi bersemu merah mudah. Ditengahnya ada pegas, jadi kalau disentuh bisa bergerak ke kanan dan kiri atau ke depan dan belakang. Aku melirik lagi ke dalam tote bag, lalu mendapat selembar kertas hvs yang terlipat. Tentu ini pasti ulah Zero. Terdapat gambar sketsa wajahku yang sedang tersenyum. Aku membalik kertasnya lalu mendapat sebuah pesan dengan tulisan tangan bersambung yang agak susah dibaca, tapi masih bisa. 

"Sha, terima kasih sudah khawatir. Tapi aku gak mau senyummu jadi hilang. Semua akan baik-baik saja. Mari kita saling percaya dan mendukung. Aku mencintaimu."

Aku tersenyum, tapi mataku berbinar. Aku memakan roti coklat dengan suapan besar, seolah sedang menyumpal mulut supaya tidak terisak. Aku tidak kasih kepastian untuknya, tapi berani-beraninya aku menaruh khawatir dan ketidakpercayaaan. Aku bertingkah layaknya wanita paling egois yang tidak mau mendengarkan sisi hati pria. Zero coba untuk kasih ketenangan padahal tidak ada yang seharusnya dicemaskan. Seharusnya sejak awal aku hilangkan perasaan yang mengganjal di hati, bukan malah membesar-besarkannya.

Aku menoleh pada patung emotikon yang Zero kasih, menyentuhnya. Aku tersenyum begitu patung emotikon itu bergerak, merasa seolah Zero terasa berada disisi. Untuk membuang rasa khawatir yang terus menyembul di kepala, aku merogoh saku lalu mengirim sebuah pesan untuk Zero. Pesan yang berisikan makna, kalau aku tidak lagi mau meneruskan sisi egois yang mengekang pergerakkan Zero. Bahwa aku tidak mempermasalahkan kegiatannya menjadi anggota geng motor kalau semua memang berjalan baik-baik saja. 

"Aku lagi belajar, kamu sudah sampai?"

"Baru sampai. Tidurnya jangan terlalu larut, ya."

Lega. Aku tersenyum mendapati perhatiannya. Aku tidak lagi membalas pesannya, tapi langsung coba fokus untuk belajar. Semangatku untuk belajar semakin tumbuh. Zero memang menenangkan.

Aku menyelesaikan setidaknya 5-10 soal sebelum berangkat tidur dan tenggelam dalam mimpi. Aku harus bisa mencapai cita-cita yang sudah ku rancang sejak masuk sekolah dasar. Tugas ku adalah berdoa dan berusaha kasih yang terbaik. Untuk hasilnya aku serahkan pada Tuhan, dengan menyisipkan harapan yang besar bahwa aku ingin sekali menjadi seorang dokter. Aku ingin membahagiakan ayah, abang, dan membantu banyak untuk sembuh dari penyakitnya.

Semoga aku berhasil! Awalnya menjadi dokter memang hanya sebuah mimpi. Tapi, bukankah kenyataan berawal dari mimpi? Karena menyusun mimpi adalah bagian dari perjalanan hidup dalam menuju kesuksesan.



--



See u!

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang