"Selesai." kata Zero, lalu menyerahkan selembar kertas yang sudah disulap menjelma wajahku. Zero langsung melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti setelah selesai makan mie ayam dan menyeruput es jeruk sampai kandas, hanya menyisakan gumpalan es batu yang sudah mencair setengahnya.
Aku memandang wajah sendiri hasil dari kelihaian Zero memainkan pensil. Zero berhasil menjiplak wajahku sedemikian serupa lewat sirna rona pensil. Bahkan rasanya, wajahku jadi lebih cantik pada selembar kertas dari pada aslinya. Diujung gambar, Zero menyelipkan satu pertanyaan yang membuat jantungku berdebar dengan sungguh.
"Kamu mau jadi pacarku? Soal perasaan ini, aku serius. Aku mencintaimu, Sha."
Zero senang bercanda. Sekalinya serius, malah buat degupan jantung melewati batas normal.
Alih-alih menjawab pertanyaan Zero yang menjadi poin penting, aku lebih pilih untuk mengapresiasi karya Zero yang menakjubkan. Buat aku yang tidak pandai menggambar, hasilnya sungguh sempurna. Karena aku hanya mampu menggambar pemandangan kalau ada tugas seni rupa, dua gunung lancip yang ditengahnya menyembul matahari tersenyum dengan hamparan sawah luas yang padinya terbentuk dari huruf "V", sebagai elemen tambahan supaya gambarku tidak begitu kaku, maka kubuat jalan meliuk menuju gunung dengan sederet mobil yang lebih pantas disebut kotak menyembul.
"Gambarmu cantik, Zer."
"Wajahmu yang cantik, Sha."
Aku tersenyum, semburat merah jambu sepertinya sudah mengisi bagian pipiku sejak tadi.
"Pertanyaannya gimana?"
Aku berdehem, pura-pura tidak tau padahal sedang menetralisir raga gugup atas pertanyaan yang mampu memecah debaran jantung. "Pertanyaan apa?"
"Mau aku tanya langsung?"
Zero bergerak akan berdiri dari duduknya, mataku langsung menyusuri penjuru warung. Sepasang kekasih duduk di pojok kanan warung dekat dengan kipas angin. Seorang pria berbadan tegap tengah memainkan ponselnya sembari menunggu pesanan datang. Terakhir yang paling ramai, 5 remaja berseragam sekolah tengah menyantap menu masing-masing sambil saling bercengkrama.
"Tidak perlu, Zer!" kataku cepat, menghentikan pergerakannya.
Zero tersenyum, tampak puas mengusiliku.
"Memangnya kamu perlu jawabannya?"
"Iya. Biar bisa manggil kamu sayang."
"Zer..."
Aku dibuat tidak bisa berkata-kata lagi, Zero sungguh menyenangkan. Kalimatnya selalu berhasil menjadi panah mini yang menusuk ulu hati, lalu kemudian pecah menjadi puing-puing cinta yang bertaburan. Ah, rasanya bersama Zero hidup lebih berwarna. Tidak perlu yang mewah, sederhana seperti makan di warung bakso seperti ini saja. Yang penting bersama dia.Mengikuti daya tarik yang bersumber entah dari mana, aku mengeluarkan buku tulis bahasa Indonesia yang bersampul coklat. Selanjutnya aku membuka tepat dibagian tengah, menarik dua lembar kertas yang masih polos. "Pinjam pensilmu, Zer."
Zero menyerahkan pensilnya tanpa mau bertanya atau menyanggah, dia mengikuti kelakuanku dengan tenang. Enggan mengganggu. Sebenarnya aku ada pensil sendiri, hanya saja aku mau pakai yang punya Zero. Siapa tau di dalamnya ada magnet yang menarik sehingga aku bisa menghasilkan gambar yang sempurna.
Dengan tingkat kepercayaan diri yang tidak begitu penuh, aku mulai menggambar pada selembar kertas yang ada garis-garisnya. Tidak sempurna. Jauh sekali dengan kata itu. Bisa dilihat dan tidak menyakiti mata saja rasanya sudah melegakan. Belum selesai sepenuhnya, aku mencoret lalu beralih pada kertas halaman sebelah yang masih bersih. Tampaknya menggunakan pensil Zero tidak bekerja seperti angan, karena yang dibutuhkan dalam menggambar adalah gerakan tangan, sedangkan tanganku sangat kaku menari menggunakan pensil untuk menyulapnya menjadi sebuah gambar yang sudah tercetak pada imajinasi di kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Teen FictionAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...