Kelengkeng

64 7 0
                                    

Sampai di rumah sakit ayah sudah dipindahkan ke ruang operasi. Abang menjelaskan kalau dia sudah melunasi biaya sesuai yang sudah ditetapkan sehingga ayah bisa langsung pasang ring jantung, meskipun tidak dikasih tau dari mana uangnya didapat. Aku memeluk abang, laki-laki satu ini kuat sekali. Bahkan tidak ada setitik air mata yang meluncur ke pipinya. Padahal aku tau abang sendiri sedang kalut dalam ketakutan. Tubuhnya utuh tapi jiwanya nyaris hancur.

Rava ternyata juga sudah ada disana, tidak ada Dira dan itu membuat emosiku tidak meledak. Lumayan agak tenang. 

"Jangan nangis, wajahmu tambah jelek!" seru abang meledek.

Aku tersenyum sedikit, meredakan aliran tangis. Abang berusaha mencairkan suasana, memperbaiki perasaanku. Padahal matanya sendiri sekarang tengah berbinar. 

"Sudah berapa jam ayah di dalam?" 

"Dua puluh menit sebelum kamu datang."

"Siapnya kapan?" 

Abang diam, tampaknya dia sendiri tidak bisa menjawab.

"Biasa 1 sampai 3 jam."

Kami menoleh ke sumber suara. Ternyata dia. Tadi begitu sampai rumah sakit, aku langsung buka helm dan berlari setelah mengucapkan terima kasih. Aku pikir dia langsung kembali ke kafe, rupanya tanpa kusadari dia mengikuti.

Abang menoleh padaku, ekspresinya seolah menodong banyak pertanyaan, "Katanya tidak dekat? Katanya baru bertemu di bus sekali? Katanya tidak tau namanya?" 

"Dia anak pemilik kafe. Kami sekarang berteman." jelasku padahal abang tidak bertanya. Supaya beban pikiran abang gak nambah.

Setelah itu kami saling diam beberapa saat, sampai akhirnya Rava beranjak dari duduknya. 

"Aku akan keluar cari makan. Asha sama bang Pratama mau makan apa? Kalian belum makan malam kan?"

Aku tersenyum. Rupanya Rava masih kasih perhatian walaupun statusnya sekarang adalah pacar Dira. 

"Apa saja." jawab bang Pratama, aku mengangguk mengikuti. Karena apapun pilihan Rava pasti yang terbaik, dia tau apa seleraku. Kami sudah lama menjalin sahabatan, sejak SMP. Sering menghabiskan waktu bersama, terutama untuk makan. Dia bahkan lebih tau apa yang aku mau dari pada diriku sendiri.

Sebelum pergi, Rava mengelus puncak kepalaku dulu. Membuat darahku mengalir hebat menyusuri seluruh organ tubuh. "Semangat dong! Kalau lesu gini kamu jadi mirip katak." 

Aku mendengus sebal. Rava dan Bang Pratama itu mirip. Kelakuan mereka sebelas dua belas. Menyebalkan tapi menyenangkan. Makanya aku nyaman bermain dengan Rava. Ibaratnya Rava adalah duplikatnya abang. Aku pasti selalu bahagia kalau ada mereka terus di sisiku. Makanya aku mau Rava dan Dira cepat putus. Apa aku egois?



*



Rava kembali dengan dua nasi bungkus, isinya ayam cabai hijau, gulai gori, daun ubi rebus, dan sepotong telur dadar. Ini adalah menu andalan aku dan Rava kalau pulang sekolah kelaparan. Kami akan singgah dulu ke rumah makan dekat sekolah untuk menyelesaikan masalah perut. Meskipun tanpa selera karena pikiran sibuk mengkhawatirkan kondisi ayah, tapi abang menghabiskan makanannya. Sedang nasi dan sayurku tersisa, tapi ayamnya habis. 

Sudah hampir dua jam tapi dokter belum juga keluar. Semoga saja semuanya berjalan lancar. Semoga semesta mendengar doaku dan abang untuk buat ayah hidup lebih lama. Kami masih butuh banyak waktu untuk berbakti. 

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang