Besoknya sesuai dengan perjanjian, kami makan bersama ditraktir Zero walaupun ujung-ujungnya teman Zero yang lain turut mengeluarkan uang. Sistem yang mereka gunakan cukup unik, berpencar membeli makanan dan minuman sesuai budget lalu satu jam kemudian berkumpul di rumah Firza yang lebih cocok disebut markas geng ribut atau lebih kerennya geng motor fortress. Zero mengaku kegiatan seperti ini sudah sering mereka lakukan, selain menciptakan kebersamaan yang lebih kuat juga menciptakan momen yang lebih dekat. Lagian kalau makan di kafe atau warung, ada batas waktu yang harus ditembus dan ada sikap yang harus dijaga. Pergerakan jadi terbatas dan tidak bebas.
Pulang sekolah, Zero, Firza, dan Loe sudah berada digerbang menjemput aku dan teman-teman. Firza sudah tentu akan membawa Neisha, sedang aku bersama Zero. Selanjutnya aku melepas Dame bersama Loe dengan sedikit ragu, membayangkan bagaimana nanti bosennya Dame terjebak dalam keheningan yang sepi.
"Kamu kenapa bawa Loe untuk menjemput Dame?" tanyaku memanfaatkan waktu di perjalanan. Kami dengan yang lain sudah berpisah, sekarang hanya berdua.
"Loe yang mau."
"Sungguh?"
"Iya. Emangnya kenapa? Dame tidak mau?"
"Bukan. Hanya saja Loe terlalu pendiam."
"Sipendiam juga punya perasaan, Sha."
Aku terperanjat, memajukan kepala menjadi lebih dekat dengan Zero supaya tidak kelewatan setiap kata yang dia ucapkan. "Maksud kamu Loe tertarik dengan Dame?"
"Mungkin saja. Loe tidak seperti Rio yang gemar memainkan hati wanita, kamu tidak perlu khawatir."
Aku tertawa. Membayangkan kalau sesungguhnya Dame dan Loe cukup serasi jika disandingkan. Dame yang senang bicara akan menghidupkan hubungan dengan Loe yang suka menyimpan suara. Hanya saja semua tergantung perasaan mereka berdua, kalau hati tidak sejalan maka tidak akan ada hubungan yang bisa terjalin. Hati adalah kunci.
"Kamu tau, waktu aku pergi dan pulang sekolah sama Loe, dia lebih banyak diam. Selalu aku yang mulai pembicaraan duluan!"
Zero tertawa pelan, "Memang itu yang aku inginkan."
"Agak kesal, tau gak?"
"Anaknya emang irit bicara, kalau penting aja suaranya keluar."
"Kira-kira ibunya ngidam apa ya, waktu hamil Loe?"
"Mungkin ibu Loe minta papanya buat manjat pohon cabai."
"Hah? Mana bisa, Zer. Kan, pendek!"
"Makanya itu Loe jadi pendiam. Ibunya ngambek sama papanya karena gak diturutin, di diemin selama seminggu!"
Aku dan Zero tertawa. Ada-ada saja. Selalu ada cerita sederhana yang menghidupkan suasana. "Sha, walaupun pendiam, tapi Loe suka bercerita."
"Maksudnya?"
"Loe bilang kamu pergi sama Rava, katanya kamu tidak mau dijemput pulang sekolah waktu itu."
Aku terdiam.
"Sha, aku bukan melarangmu. Tapi, kenapa gak bilang?"
"Aku hanya tidak mau mengganggu konsentrasimu dalam bertanding, Zer. Maaf."
Tak ada balasan dari Zero. Ada yang salah ketika sibanyak bicara tiba-tiba menyimpan suara. Perlahan aku menjulurkan tangan, meraih pinggang Zero yang berlapis seragam sekolah. Jarak kami semakin dekat. Aku mendekap Zero dengan erat supaya dapat merasakan degup jatungnya, mencari tau apakah laki-laki ini memang sedang marah atau justru melampauinya. Yaitu, kecewa.
"Aku tidak menerima maafmu karena kamu tidak bersalah, Sha. Sudah kubilang, walaupun cemburu tapi aku percaya sama kamu. Sebelum kenal aku, kamu main sama dia. Setelah sama aku, kalian juga bisa begitu. Yang penting jangan buat aku kecewa, Sha."

KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Novela JuvenilAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...