Steak

31 2 0
                                    

Aku mempercepat langkah, tidak mau kehilangan. Banyak pertanyaan melintas dikepala, seputar mengapa abang masuk dalam ruko itu. Jaraknya tidak begitu jauh dari kafe yang kami tempati, tapi aku harus menyebrang jalan. Aku harus menunggu jalanan sepi biar tidak terjadi kecelakaan, hal itu justru membuatku merasa kesal. 

Ketika lampu lalu lintas berubah jadi merah, aku langsung menancap langkah supaya berjalan lebih cepat, bahkan berlari kecil. Jantungku semakin berdebar karena kekurangan pasokan udara, dadaku naik turun tidak beratur. Usahaku tidak membuahkan hasil, abang sudah pergi dengan mobilnya. Aku hanya bisa memandang nomor plat mobil abang yang menjadi jawaban pasti, kalau pria yang aku lihat benar-benar bang Pratama. Ternyata mataku masih bagus meskipun melihat dari lantai dua.

Aku menoleh pada ruko yang sebelumnya abang masuki, membaca papan nama yang tertera besar dan jelas, pegadaian. Mataku tiba-tiba berbinar tanpa alasan. Padahal sudah aku bilang, jangan menyelesaikan masalah sendirian. Tapi sikap abang yang gak pernah mau menyusahkan orang lain masih saja melekat, sampai-sampai membuatnya terlihat seperti orang yang keras kepala. 

Biaya operasi ayah, pasti abang mendapatkannya dari tempat ini. Pertanyaan yang selama ini hanya bisa aku simpan sendiri, sudah terjawab tanpa dijelaskan langsung sama abang. Semesta berpihak padaku, memberi kesempatan supaya aku bisa mengurangi sedikit beban yang menimpa bahu abang. Supaya abang gak berjuang sendirian.

Dengan langkah ragu tapi pasti, aku masuk ke dalam ruko. Ragu, karena bisa saja tidak dikasih masuk apalagi aku masih mengenakan seragam sekolah. Pasti, karena aku mau jawaban yang lebih nyata dari pada hanya menerka-nerka sendirian. 

Satpam menghampiri, aku tersenyum manis, mencoba untuk ramah. Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Seperti aku tidak diizinkan masuk, disuruh pulang, atau dituduh cabut sekolah.

"Ada yang bisa dibantu dek?"

"Pria yang baru keluar, urusannya apa pak?"

Satpam itu kini memberi pandangan agak menyelidik. "Kenapa ya, dek?"

"Pria yang pakai kemeja kotak-kotak warna biru, dia abang saya."

Satpam itu sekarang mengangguk. "Jadi?"

"Jadi saya mau tau, abang saya ngapain kesini, pak?"

"Kalau untuk informasi itu, saya gak bisa kasih tau."

"Kenapa?"

Satpam membuka pintu, mempersilahkan masuk. "Pekerja dalam yang melayani. Adek silahkan ambil antrian saja."

Aku menilik ke dalam, ramai. Setidaknya ada sekitar 6 orang duduk berjarak dalam ruangan ini. Tiba-tiba aku menjadi bimbang, lanjut melangkah atau kembali ke kafe, karena teman-teman pasti sudah menunggu. 

"Gak bisa langsung tanya, pak?"

 "Wah, gak bisa dong. Yang lain bisa pada ngamuk kalau begitu."

Aku tersenyum. Berdiri mematung, berpikir sebentar. Demi abang, aku akan melakukannya. Untuk membuat teman-teman tidak khawatir, aku hendak mengirim pesan, tapi sayangnya ponselku tertinggal di ransel. Untuk pertama kalinya, aku mengaku kalau ceroboh itu tidak menguntungkan. 

Mau kembali ke kafe, tanggung. Jadi aku memilih untuk diam menenangkan diri, semua akan baik-baik saja. 



*



Perasaan lega menghampiri dada begitu aku keluar dari pergadaian, tapi tidak bisa ditangkal kalau rasa khawatirnya menembak lebih banyak. Awalnya aku kesulitan untuk mendapat jawaban, abang petugas tidak mau kasih informasi. Tapi untung saja aku bisa meyakinkan, lewat cara menjawab data diri abang yang mereka punya dengan benar semua. Aku meminta mereka untuk tidak kasih tau abang, aku bilang pada mereka akan bantu abang melunaskannya sebagai bentuk hadiah karena abang akan menikah. Padahal aku berbohong, tapi mereka percaya. Karena sesungguhnya, kalau abang tau, aku tidak dikasih kesempatan untuk membantunya. 

Sesungguhnya, aku agak tidak mengerti sama pikiran abang. Perjuangannya begitu hebat. Bisa-bisanya dia menggadaikan cincin untuk kak Lola, padahal aku tau uangnya itu hasil dari tabungan abang. Pantaslah, waktu kami di taman hijau, ketika ayah membahas soal pernikahan yang butuh biaya, wajah abang yang semangat empat lima berubah jadi masam. Ternyata ini fakta dibelakangnya. 

Tadi, abang kesini untuk menyicil pembayaran, supaya cincin itu bisa ditebus. Masih ada sisanya, dengan nominal yang cukup fantastis bagiku. Aku berjalan kembali menuju kafe dengan langkah yang tidak lagi tegap, tiba-tiba terasa lunglai dan lelah. 

"Kamu kemana aja?" tanya Rava yang berada di depan kafe. Aku tersenyum, entah sejak kapan dia berada disini, tapi aku akui aku senang. 

"Ada urusan sebentar."

Rava mendengus, "Bilangnya ke toilet?"

"Aku bohong."

Bukannya kecewa sama jawabanku, Rava justru melangkah ke depan, membelakangiku. Perasaan senang tidak lagi menghiasi hati, kini berganti dengan bulir-bulir kemarahaan. Aku tersenyum menyedihkan, mendapati kenyataan bahwa Rava bukan sedang menunggu kedatanganku, melainkan Dira. Tiba-tiba rasa sakit yang menyesakkan dada terasa semakin terguncang, seolah ada tombak yang menghantam.

Kadang aku suka lupa sama kenyataan, bahwa Rava sudah milik orang lain. Aku masih mengharapkan perhatiannya yang selama ini mengalir selama kami menjalin persahabatan, padahal harusnya aku sadar, bahwa perhatian Rava sudah teralihkan. 

"Hai." sapa Dira untukku. 

Aku tersenyum meski lengkung bibir rasanya keluh, "Hai."

"Kenalin, ini Yesi, teman sebangkuku."

Seorang wanita yang terlihat badai dengan tampilan riasan wajahnya mengulurkan tangan, aku turut membalas. 

"Yesi."

"Asha, pakai H."

Dira dan temannya tertawa. Rava melirikku, "Belum hilang juga ya, cara kenalannya?"

"Gak ada yang hilang dari diriku, Rav."

Setelah itu kami berempat langsung melangkah menuju lantai dua, dimana teman-teman lain sudah menunggu sejak tadi. Mungkin saja steaknya sudah masak semua dibuat mereka, jadi kami tinggal makan saja. Pasti Neisha dan Dame aka ngedumel pada ku.

Ketika menaiki tangga, Dira dan Yesi jalan duluan, sedang aku dan Rava berada di belakang. Aku tidak sadar ketika tiba-tiba Rava mendekatkan wajahnya dengan telingaku, "Ada yang hilang. Tatapanmu untukku." bisiknya.

Aku mengerjap, ternyata Rava membalas kalimatku sebelumnya meskipun terlambat terlalu lama. Ternyata dia masih menyadari sesuatu yang hilang dariku untuknya, yang sekarang kini terganti sama yang baru. Salah satunya tentang pandangan, aku tidak lagi memandangnya dengan perasaan penuh, karena sudah aku tinggalkan perasaan untuknya.

"Kenapa?"

"Aneh aja. Percakapan kita juga rasanya gak seasyik dulu."

Aku memandang ujung sepatu sambil terus melewati runtutan anak tangga, "Itu namanya perubahan, Rav. Bukan kehilangan!"

"Tapi aku merasa ada yang hilang, apalagi kebiasaan yang kita lakukan dulu."

"Kamu kehilangan apa cuma rindu?" tanyaku, tanpa sengaja nada bicaraku terlampau kuat sampai Dira dan Yesi menoleh. 

Aku tersenyum, kasih penjelasan kalau semua baik-baik saja. Setelah mereka kembali menghadap ke depan, aku kembali berujar.

"Kita udah bertemu sama jalan masing-masing. Jadi pantas saja kalau waktu kita gak sebanyak yang dulu. Lagian yang mulai duluan, kamu, kan?"

"Kalau aku menyesal, kamu percaya?"

Aku menautkan alis, "Gila, kamu, ya?"

Selanjutnya Rava tertawa, aku tau kalau dia hanya bercanda. Ya, pasti bercanda. Suasana hatiku tidak cukup baik hari ini. Rasanya kepalaku terasa sibuk, jadi tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal lain. Cuma bang Pratama yang ada dikepala sekarang.







--

See u!



ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang