Bel masuk berdering, tanda waktu istirahat sudah berakhir. Seluruh warga sekolah bergerak meninggalkan kegiatan masing-masing, berjalan menuju kelas untuk kembali bergulat menimbah ilmu. Aku, Neisha, dan Dame masih dipinggir lapangan, panggilan teleponku belum juga diangkat sama Zero diseberang. Padahal ini adalah kali ketiga aku meneleponnya. Neisha dan Dame yang suruh, mereka bilang lebih baik bicara langsung lewat telepon untuk tanya alasannya, dari pada lewat pesan karena prosesnya akan lama dan tidak memuaskan.
"Mungkin nadanya dimatikan, karena lagi belajar." ujarku optimis, tidak mau berpikir yang aneh-aneh. Padahal sebenarnya perasaanku menyimpan sesuatu yang ganjal, bagaimana kalau alasan Zero tidak jadi ikut lomba karena laki-laki bernama Rauf, anak kelas sebelah. Pikiran negatif itu ada di kepala, tapi aku pilih untuk menangkisnya. Zero pasti bisa melindungi dirinya disana. Aku tau Zero itu si anak hebat.
"Kalau begitu kita kembali ke kelas saja, sebelum guru masuk."
"Tunggu-tunggu!"
Aku dan Dame menoleh pada Neisha, seruan wanita itu menghentikan langkah kami kembali ke kelas. Padahal suasana sudah sepi. Karena dalam hitungan detik para guru pasti akan keluar dari ruang guru, selanjutnya melangkah menuju kelas untuk mengajar.
"Ada apa?"
"Itu!" Neisha menunjuk salah satu pria yang sedang jalan mengendap-endap menuju belakang sekolah, membawa ranselnya yang berwarna coklat tua seperti mencoba untuk kabur. Layaknya maling yang tidak mau ketahuan.
Aku sedikit menyipitkan mata, membidik wajah laki-laki itu untuk mengenalinya. Ternyata Firza, temannya Zero.
"Kita samperin dia!" seru Neisha lagi.
"Untuk apa?"
"Tanya soal Zero."
"Supaya?"
Neisha menghela napas, wajahnya tampak kesal. "Sha, kamu bilang dia temannya Zero? Mereka satu geng motor kan?"
"Iya. Zero sendiri yang bilang."
"Dia pasti tau soal Zero. Lihat, kelakuannya seperti mau bolos dari sekolah. Kita bisa memanfaatkannya."
"Maksudnya apa, Neisha?"
"Udah ikutin aja. Otak kalian tidak sampai memikirkannya!"
Aku dan Dame mendengus, agak kesal sama sindiran Neisha padahal memang begitu kenyataannya. Sekarang mau tidak mau kami menghampiri Firza yang sudah sampai di belakang sekolah, wajah laki-laki itu terkejut menyadari kedatangan kami.
Neisha melangkah maju semakin dekat dengan Firza, dengan tangan yang bersedekap dada seperti sedang menantang. Aku dan Dame saling bergandengan tangan, menyerahkan segalanya pada Neisha. Sebenarnya agak cemas juga karena bu guru mungkin sudah masuk ke kelas sekarang. Tapi tidak mungkin kami meninggalkan Neisha seorang diri, apalagi yang dia lakukan juga untuk Zero. Berarti untukku.
"Mau kemana?" tanya Neisha, kelakuannya cukup mempesona. Seperti ketua osis yang mempergoki anak nakal yang mau bolos sekolah, tidak ada ketakutan maupun keraguan yang terpatri pada wajah Neisha. Dahinya sedikit terangkat dengan tatapan mata setajam elang.
"Bukan urusan kalian!"
Neisha menaikkan bahunya acuh, tersenyum menang. "Terserah. Tapi kami bisa mengadu."
Firza mendengus, mulai marah.
Aku tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, jangan sampai Neisha dan Dame malah berakhir bertengkar dan kami jadi ketauan karena sedang berada di belakang sekolah alih-alih masuk kelas padahal sudah masuk jam pelajaran. Apalagi ini urusan Zero, jadi rasanya lebih baik aku yang mengatasinya. Bukan malah menyerahkan segalanya pada Neisha.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Ficção AdolescenteAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...