Harapan

28 1 0
                                        

Hujan tidak lagi menjilat permukaan kulit aku dan Dame, justru beranjak naik mengulum kulit kami dalam lingkup sejuk yang perlahan-lahan membawa suasana dingin membeku. Jantungku berdebar-debar menyadari kalau suasana semakin sepi, cahaya bulan yang meredup, laju kendaraan yang minim, langit yang tidak berhenti memuncratkan isi perutnya, serta awan hitam yang semakin gemar berkumpul seolah sedang arisan keluarga. Sudah 15 menit berlalu tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran angkutan umum ataupun mini bus yang mampu mengangkut kami untuk pergi dari suasana yang bertemakan sepi ini.

Sekali lagi aku melirik para pengamen, yang mengenakan topi baret sudah menjulurkan badannya, telentang setengah badan pada bangku halte sambil memejamkan mata. Yang mengenakan topi bisbol duduk malas dengan melirikku agak sinis, membuat aku beralih menatap si topi bulat yang ternyata jaraknya sudah semakin dekat dengan aku, lagi-lagi dia tersenyum lebar. Aku yakini si topi bisbol dan si topi bulat memiliki kepribadian yang berbeda, layaknya si jutek dan si ramah, tapi dari pada memikirkan mereka lebih jauh sebaiknya aku mencari jalan keluar untuk bisa cepat-cepat sampai rumah. Sebelumnya para pengamen menawarkan kami untuk duduk, tapi langsung ditolak mentah-mentah tanpa basa-basi sama Dame, mungkin karena hal itulah mereka jadi menguasai nyaris seluruh bangku halte.

"Kalau pesan dari aplikasi, kira-kira car drivernya ada yang mau terima, gak, ya?"

"Kita coba saja!" kataku tersenyum, Dame memberikan ide bagus, semoga menjadi jalan keluar buat kami. 

Memikirkan ada yang menerima atau tidak menjadi urusan belakangan saja, karena kami butuh pergerakan untuk bisa bebas dari tempat ini. Harus lebih optimis ditengah-tengah hujan yang deras mengalir. Ketika kami coba, ongkosnya menjadi lebih mahal dari biasa, mungkin pengaruh malam dan hujan. Meskipun begitu kami tetap melanjutkannya. 

Semenit berlalu, Dame masih memandang layar ponsel dengan binar harapan yang melonglong lewat matanya. Sekali lagi aku melirik para pengamen tanpa menggerakkan kepala, samar-samar aku lihat si topi baret sudah kembali duduk dan mengepulkan asap rokok, merampas kesegaran udara halte. Sepertinya dia tidak bisa tidur, makanya mencari kesibukkan lain.  

"Udah ada yang terima?"

"Belum." Dame mengembalikan layar ponselnya pada menu utama, lalu beralih pada aplikasi lain, "Kita coba pesan di tempat lain, aja!"

"Kalau tidak ada juga, gimana?"

"Gimana lagi? Kita minta Loe dan Zero jemput. Mereka lagi kumpul di rumah Firza."

Aku tersenyum, menyadari gengsi setinggi tembok perang yang melekat pada pikiran aku dan Dame perlahan-lahan runtuh. Kalau Neisha tau apa yang sedang kami lalui sekarang, pasti dia akan meledek dengan tertawa puas karena kami tidak mendengarkan ucapannya. Tadi lewat telepon, Loe memang sudah menawarkan diri untuk menjemput, tapi Dame langsung menolak. Tidak ada ubahnya dengan aku yang menolak Zero waktu masih di rumah Neisha.  

Sembari menunggu Dame berkutat mencari kendaraan untuk kami pulang, sekali lagi aku melirik para pengamen, tiba-tiba saja aku merasa perlu waspada meskipun agaknya mereka tidak perduli akan keberadaan kami. Rupa-rupanya si topi bulat sudah berdiri dekat aku. Aku tersenyum, dia turut tersenyum selebar samudra. Jujur saja kalau aku tidak menyukai senyumnya yang ramah itu. 

"Udah ada yang jemput, dek?"

Aku ingin menjawab belum, tapi Dame berhasil menyela. "Udah!"

"Yang jemput masih lama datangnya? Duduk lah dulu!"

Dame menatap layar ponsel yang masih menampilkan lambang bulat berputar lambat, yang artinya belum ada yang menerima pesanan kami. Rupanya Dame berbohong. 

"Terima kasih, sebentar lagi ayah kami datang." kataku mantap mengikuti ketangkasan Dame dalam membaca situasi.

Si topi baret dengan mulut yang berasap-asap ikut nimbrung dalam percakapan kami, dia berdiri sempoyongan seperti orang kurang tenaga, "Sambil nunggu, mau kami nyanyiin, gak?"

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang