Cemburu

34 3 0
                                        

"Aneh banget, telepon aku gak diangkat, pesan gak dibalas."

Aku merutuki diri sendiri karena pergi hanya dengan membawa diri dan melupakan hal lain. Pesan Zero masuk sebanyak 5 kali dan terdapat panggilan telepon yang tidak terjawab sejumlah 3 dengan jeda waktu setiap lima menit. Aku langsung membalas pesannya. Disana mungkin Zero sudah kalang kabut dan mencak-mencak menunggu kabar dariku.  

"Maaf. Tadi keluar sama Rava, ponselnya tertinggal."

Pergi bersama Rava. Tidak ada yang spesial lagi. Percakapan kami hanya tentang rasa coklat pisang kejunya mba Sri yang tidak berubah, masih enak dan nikmat. Yang berubah justru hubungan kami. Tidak juga. Hubungan kami masih sama, tidak ada perubahan dan pergerakkan, masih menyandang status sebagai sahabat. Karena untuk lebih dari sekedar sahabat rasanya tidak ada kesempatan. Yang berubah itu perasaan aku untuknya. Sudah tidak lagi sama seperti waktu aku menyimpan rasa padanya. Rasa sayang masih tersisa, tapi hanya sebatas bentuk persahabatan. Perjalanan waktu membawa aku pada titik terang, tidak lagi pada ruang abu-abu yang menunggu kepastian dari Rava. Aku tidak lagi kebingungan. Sejak awal hati Rava memang bukan untukku, jadi tidak ada kepastian darinya yang menjadi bagianku. Perasaanku untuk Rava sudah selesai.

Dering ponsel membuyarkan lamunanku mengenai Rava. Siapa lagi kalau bukan Zero, laki-laki itu menelepon padahal sudah pukul 10.16 wib. Sebelum menjawab, aku menutup rapat pintu kamar dan menguncinya supaya suaraku tidak sampai keluar. Ayah dan abang perlu istirahat dengan nyaman karena besok harus bergulat lagi di bengkel. Aku tidak mau mengusik waktu istirahat mereka. 

"Halo?"

"Hai!" sapanya dari kejauhan. Aku mendengar suara kendaraan sahut menyahut, sepertinya Zero lagi tidak di rumah. "Kemana sama Rava?"

"Makan pisang coklat keju mba Sri."

"Enak?"

"Enak. Sudah lama kami tidak kesana, ternyata rasanya masih sama."

"Besok kita yang kesana, ya?"

"Kenapa?"

"Biar aku tidak kalah sama dia."

Aku tersenyum. Zero sipecemburu. "Kamu lagi diluar, ya?"

"Iya."

"Main sama teman-teman?"

"Bukan."

"Jadi?"

Zero berdehem, aku menunggu jawabannya yang ada sedikit jeda. "Tadi mau ke rumah kamu. Habisnya gak ada kabar. Kan, takut, kalau kenapa-kenapa."

Aku tergelak tawa. Ini lucu dan menyenangkan. Hatiku mendadak berbunga-bunga. Aku beranjak naik ke ranjang dan merebahkan diri, lalu menarik selimut setengah badan. Hangat. "Jadi ini sekarang dimana?"

"Pinggir jalan, sendirian. Gak mau nemanin?"

"Tapi, udah malam..."

Gantian giliran Zero yang tertawa. "Bercanda! Masih ada satu dua orang yang lewat. Lagian kalau aku ajak kamu keluar jam segini, bisa dihabisin abang."

Kami tertawa bersama. 

"Gak pulang?"

"Ini mau pulang. Besok-besok hpnya dibawa, oke?"

"Oke! Hati-hati, ya."

Aku sudah siap untuk mengakhiri panggilan, tapi tiba-tiba satu pertanyaan untuk Zero timbul dikepala. 

"Zer."

"Iya?"

"Kamu gak marah aku jalan sama Rava?"

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang