Taman Hijau

48 5 0
                                    

Pagi ini aku dan bang Pratama ajak ayah pergi ke taman dekat rumah, kami menempuhnya berjalan kaki sambil menggerak-gerakkan tubuh biar lebih rileks. Kami berangkatnya dari rumah habis subuh,  15 menit setelah abang pulang dari masjid. 

Sebenarnya yang kami datangi ini lebih cocok dibilang lapangan rumput, tapi masyarakat sekitar sudah terbiasa menyebutnya dengan nama taman hijau. Tidak banyak bunga yang bertaburan, hanya beberapa tapi cukuplah untuk menyegarkan mata. Disekelilingnya lebih banyak pohon-pohon rimbun yang tingginya menyetarakan tiang listrik, diantaranya pohon pucuk merah dan pohon cemara. Di bagian kiri sejejeran dengan tempat-tempat duduk, terdapat tempat yang terisi oleh beragam alat fitnes taman, warnanya di cat perpaduan antara hijau dan kuning. 

Sejujurnya aku ingin menenangkan pikiran, ada hal yang harusnya tidak aku pikirkan tapi malah melintas terus di kepala. Tentang Rava dan pacarnya, juga tentang Zero dan pacarnya juga. Kejadian kemarin malam tidak bisa hilang begitu saja. Aku masih bertanya-tanya tentang ucapan om Bagas, apakah yang dia katakan memang kebenarannya atau tidak. Aku mau tau semua fakta tentang Zero, semua rahasia yang dia simpan dan aku tidak tau. Tapi aku tidak mau dengar penjelasannya dari Zero langsung, karena biasanya kalau orang bersalah itu punya banyak alasan untuk buat dirinya berada diposisi aman. Aku cuma gak mau kalau Zero justru menangkalnya dan malah mengarang cerita. Aku malah akan semakin membencinya.

Aku terjebak dalam kebaikannya. Sama seperti Rava, Zero juga membuat aku terjebak dalam perasaan bingung. Sebenarnya dia benar-benar mencintaiku atau tidak?

Sudah satu jam pemandangan hijau menghiasi mata tapi tetap saja aku belum dapat ketenangan. Seperti kata abang, mungkin aku memang sedang patah hati. Akhirnya aku tau bagaimana rasanya kecewa soal cinta. Tunggu, cinta? Aku kan tidak cinta sama Zero! Tidak mungkin aku berpaling dari Rava dan dengan cepat menaruh rasa untuk Zero. 

Disini, posisiku hanya kecewa karena Zero yang aku kira laki-laki penuh kejutan rupanya punya rahasia besar yang menyakitkan. Aku hanya terlalu nyaman dan suka sama semua pemberiannya yang sederhana tapi berhasil kasih kesan manis. Aku jadi kembali berpikir, kalau ternyata selama ini Zero memang hadir hanya karena kasihan sudah melihatku menangis tiga kali. Bersamanya aku lebih sering tersenyum dan tertawa, mungkin Zero pergi karena merasa tugasnya membantuku untuk keluar dari lingkar kesedihan sudah selesai. Aku saja yang terlalu lugu, menyimpulkan kalau Zero adalah laki-laki spesial yang semesta kirimkan untukku supaya bisa lepas dari luka yang Rava torehkan. Ternyata ujung-ujungnya malah aku kembali terluka sama perasaan bingung yang memenuhi isi kepala.

"Enaknya sarapan apa kita?" tanya abang memecahkan lamunan, sekarang kami bertiga jalan pelan-pelan dipinggir lapangan karena ayah belum bisa bergerak terlalu banyak.

"Adek pengen apa?"

Aku tersenyum mendapat perhatian yang terus saja mengalir, "Harusnya ayah yang pengen apa? Lidahnya udah enak buat makan?"

"Udah lumayan. Lagian ayah apa aja mau."

"Asha juga kalau makan gak pilih-pilih, yah. Yang penting enak!"

"Kalau gitu kita ke warung lontong biasa aja. Ada sop disana, bisa buat ayah."

Aku dan ayah tersenyum, "Kalau itu mah maunya kamu bang!" ledek ayah.

Kami tertawa bersama.

Warung lontong biasa yang abang sebutkan adalah punya ibu pacarnya abang. Kami sudah sering beli disana sejak dulu, seperti kali terakhir pulang dari rumah sakit. Akhir-akhir ini kami sering mendapat bonus setelah abang menjalin hubungan dengan anaknya. Namanya kak Lola, mereka baru masuk dua bulan menjalin hubungan. Tapi pendekatannya nyaris dua tahun. Kak Lola kerjanya di pasar swalayan, jadi kalau tidak masuk shift pagi, dia selalu membantu ibunya. Orangnya pekerja keras dengan kulit yang bersinar, sedikit pendiam dan tentu saja cantik.

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang