Pulang

66 8 0
                                    

Ayah sudah kembali ke ruang rawat inap dari kemarin malam. Dokter bilang semua berjalan dengan lancar, tapi ayah tetap harus menjalani proses pemulihan setidaknya dalam waktu satu minggu. Tidak di rumah sakit, karena hari ini ayah sudah bisa pulang. Ada bagusnya juga karena tidak banyak memakan biaya. 

Setelah pasang ring jantung bukan berarti ayah sudah sembuh, karena kegunaannya hanya untuk mengurangi gejala penyakit jantung berupa nyeri. Karena kenyataannya penyakit jantung koroner tidak dapat disembuhkan. Penyakit jantung merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan kematian. Makanya, ketika ayah ditetapkan sebagai pasien penyakit jantung, aku tidak bisa menahan tangis. Aku dan abang memberi perhatian ekstra, harus menyiapkan hati juga kalau suatu saat penyakit ayah merebut nyawanya. 

Tapi aku dan abang tidak mau menyerah dan pasrah begitu saja. Kami akan bersama-sama merawat ayah, terutama menjaga bahagianya ayah untuk tidak mendengar kabar buruk. Kami akan berjuang bersama, karena abang tidak boleh berusaha sendirian. 

Pagi sampai sore aku akan jaga ayah. Setelah abang pulang dari bengkel, baru gantian abang yang jaga. Setidaknya sampai dua minggu kedepan kami tidak boleh membiarkan ayah sendirian. Ayah sudah berjuang membesarkan kami sendirian tanpa seorang pasangan sebagai tempat saling mengaduh, kini biar jadi giliran kami menjaga ayah sampai akhir hayatnya. 

Pagi ini mataharinya cerah dan indah. Tapi kami tidak sempat menikmatinya. Sebelum buka bengkel, abang menyelesaikan seluruh administrasi terakhir supaya ayah bisa pulang. Menembus obat yang akan membantu ayah untuk bisa bertahan hidup di bumi. 

Dokter yang merawat ayah mengucapkan selamat kembali ke rumah dan mendoakan ayah semoga cepat pulih. Kami membalasnya dengan senyum dan ucapan terima kasih. Langkah kami perlahan meninggalkan rumah sakit, menuju tempat parkir dimana mobil abang berada. Abang membawa tas dan semua barang selama menginap sedangkan aku mendorong ayah yang duduk di kursi roda. 

"Jadi sudah bisa kita mancing ikan minggu depan kan, bang?" tanya ayah mencairkan suasana, senyumnya yang hilang sudah kembali. Ayah terlihat lebih baik walaupun wajahnya masih pucat.

"Sudah. Mancing ikan gobi."

Aku dan ayah tertawa kecil mendengarnya. Ikan gobi itu tidak bisa di pancing karena ukurannya terlalu kecil. Ikan gobi juga ada di tempat pembuangan air, di tangkap pakai tangan juga bisa. Memangnya ayah anak kecil yang mau tangkap ikan gobi!

Kami sampai di rumah setengah jam kemudian, pukul 11.00 wib kurang. Di mobil tidak ada yang bersuara, rasanya kami terlalu lelah karena tidur juga tidak nyenyak. Akhirnya pulang juga ke rumah, tempat istirah paling nyaman. Sebelum pergi ke bengkel walaupun sudah lewat dari waktunya, abang menyempatkan makan nasi uduk yang sengaja kami beli di perjalanan. 

Aku sendiri merapikan ranjang ayah terlebih dahulu biar tidurnya nyaman, baru kemudian nyusul abang ikut makan. Belum habis setengah makananku, abang sudah selesai. Dia langsung beranjak mandi supaya lebih segar. 

Melihat rumah yang sudah lama tidak mendapat sentuhan sapu, membuat penampilannya tidak enak di pandang. Lantai keramik yang harusnya putih nyaris jadi abu-abu, kami terlalu fokus merawat dan memperhatikan ayah sampai rumah terbengkalai. Sebelum masak bubur untuk makan siang ayah yang sebentar lagi masuk waktunya, aku hendak membersihkan rumah dulu. Tapi tiba-tiba suara yang hadir dari luar rumah berhasil menunda pekerjaanku. 

Betapa terkejut dan senangnya hatiku mendapati sosok bi Tami didepan pintu. Asisten rumah tangga yang sudah bekerja di rumah kami sejak aku duduk di sekolah dasar. Aku menyalimnya, sudah menjadi kebiasaan yang tertanam sejak dulu. Hubungan yang terjalin antara aku, abang, dan bi Tami bukan hanya sekedar art dan anak majikan. Kami bahkan kerap menganggapnya sebagai seorang ibu, tidak jarang pula kami saling bertukar cerita dan meminta pendapat bi Tami ketika sedang bingung.

"Kenapa sudah masuk bi?" tanyaku langsung karena seharusnya jatah liburan bi Tami itu sampai tanggal 7, atau satu minggu setelah tahun baru. 

"Bang Pratama yang telepon, kasih kabar kalau kalian sudah pulang dari rumah sakit. Ayah gimana?"

Aku mengangguk, abang memang paling bisa diandalkan. "Ayah sudah membaik. Lagi tidur." 

"Alhamdulillah. Maaf ya kak, bibi gak sempat jenguk. Liburan sama anak-anak." 

"Gapapa dong bi. Seharusnya sekarang juga masih liburan, kan?" 

Kami mulai beranjak masuk ke dapur sambil terus berbincang.

"Tidak masalah kak." katanya sambil tertawa, "Bang Pratama mana?" 

"Di kamar, habis mandi. Mau pergi ke bengkel dia."

"Loh, sudah buka kak?"

"Sama kaya bi Tami. Harusnya masih tutup, tapi abang pilih buka biar ada pemasukan. Soalnya dua hari ayah di rumah sakit, banyak pengeluarannya."

Bi Tami tersenyum, meraih alat tempurnya. "Saya mulai dulu ya kak."

"Oiya, aku mau masak bubur buat ayah, bi. Tadinya mau lihat internet. Tapi karena bi Tami udah masuk, ajarin Asha ya?" 

"Bibi aja yang buat kak."

"Kita bagi tugas dong bi. Lagian mau sampai kapan kami bergantung terus sama bi Tami?"

Bi Tami tersenyum sambil mengangguk. Sebenarnya aku tau-tau saja bagaimana cara memasaknya, tapi masakan bi Tami sudah pasti enak. Bi Tami pasti sudah tau takarannya yang pas, tidak seperti aku yang mau masukin garam saja ragu-ragu.



*



Bunyi alarm yang mengisi keheningan kamar membuat aku tersentak. Sudah pukul 15.00 wib ternyata. Tadi setelah menyuapi ayah dengan bubur masakanku resep dari bi Tami dan kasih ayah minum obat, aku beranjak tidur. Aku merindukan kenyamanan kasur, tidurku sangat pulas tidak seperti saat di rumah sakit. Sengaja aku pasang alarm karena takut kebablasan. Ini adalah hari pertama bekerja. Jadi tidak boleh mengecewakan. 

Aku langsung beranjak keluar, mau periksa keadaan ayah. Tapi ternyata rumah ramai. Para tetangga dan beberapa saudara datang menjenguk ayah, aku tersenyum. Ayah pasti sengaja tidak membangunkan aku. Untunglah ada bi Tami yang bisa menjamu para tamu. Betapa hanyutnya aku dalam alam mimpi sampai tidak terbangun. 

"Bi, tamunya sudah lama?" bisikku.

"Ada yang baru datang juga, kak." jawab bi Tami ikut mengecilkan suara.

Aku mengangguk. Sepertinya aku harus duduk dulu sebentar untuk sekedar berbincang. Padahal niatku mau mandi langsung biar bisa pergi lebih cepat. 

Diam-diam aku mencuri waktu untuk kirim pesan buat abang, semoga saja dia bisa diajak bekerja sama. Kan tidak mungkin para tamu dibiarkan bertemu dengan orang sakitnya saja. Paling tidak harus ada seseorang yang bisa diajak bicara soal sakitnya ayah. 

"Sudah bisa pulang bang? Banyak tamu di rumah tapi aku harus beres-beres buat pergi kerja."

"Masuk jam berapa emang?"

"Jam 5. Tapi jam 4 setidaknya harus udah pergi."

"Iya, ini abang pulang sekarang. Tinggal satu mobil, bang Toni dan Ridwan bisa ditinggal." 

Aku tersenyum senang. Tidak hanya setuju, abang sekarang juga mendukung kalau aku bekerja paruh waktu. Ucapannya berbeda dengan yang kemarin-kemarin. Memang ya, kalau sudah genting, segala cara harus dilakukan untuk menghadapinya. Di hadapan kami sedang ada gunung menjulang, untuk bisa mendakinya kami harus saling mengulurkan tangan. Supaya yang lelah gak cuma satu orang saja. Sekarang jatahnya ayah istirahat, biar kami yang berjuang. 




--



See u!

ZERO [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang