Tidak ada malam yang lebih cerah ketika hariku ditutup dengan melihat wajahnya. Ah, kebiasaan. Bayang-bayang wajah Zero kerap muncul dilangit kamar, membawa diriku hanyut dalam ketidaksadaraan. Beberapa kali aku menepisnya, tapi beberapa waktu aku juga menikmati dan hanyut di dalamnya.
Suara ketukan pintu membangunkan aku dari lamunan tentangnya, meninggalkan kegiatan menghalu yang semestinya aku habiskan untuk belajar. Dari balik pintu abang memanggil namaku dengan lantang.
"Kenapa?" seruku enggan langsung buka pintu. Tadi, aku baru selesai ganti pakaian setelah menghabiskan banyak waktu bersama Zero, jadi pintu kamarnya terkunci.
"Rava datang!"
Mataku mendelik mendengar namanya, segera menjauhi kasur dan langsung menghampiri abang. "Rava?" tanyaku lagi memastikan.
Abang mengangguk mantap, aku tidak dapat melihat kebohongan dari pancaran matanya. "Katanya mau tanya tugas."
"Begitu."
"Itu di dapur ada martabak, bawa keluar sekalian, kasih buat Rava."
Aku hanya mengangguk sedang abang melenggang masuk kamar.
"Ayah udah minum obat?" tanyaku sebelum abang menutup pintu kamarnya.
Jadi kamar aku dan abang itu samping-sampingan. Kamarku lebih luas dari pada punya abang, itu karena abang tidak lagi membutuhkan meja belajar. Dulu abang yang menempati ruangan yang sekarang menjadi kamarku, setelah melewati perjalanan waktu, maka terjadi perubahan. Kami tukar posisi, menyesuaikan kondisi dengan memanfaatkan ruang yang ada dengan sebaik mungkin.
"Udah. Kayaknya udah tidur juga."
Setelah mendapat jawaban yang menenangkan dari abang, aku langsung menghampiri Rava supaya dia tidak menunggu terlalu lama. Aku sempat bertanya-tanya hal apa yang membawa langkah Rava sampai kesini, karena sejauh ini Rava berkunjung bisa dihitung jari setelah berpacaran sama Dira. Kalau soal tugas saja, alasannya terlalu klasik, karena beberapa kali Rava juga tanyanya lewat pesan. Gak harus ke rumah langsung karena sekarang zaman sudah canggih.
Aku mendapati Rava duduk di teras depan, dengan setumpuk buku pada meja di hadapannya. Satu buku fisika setebal nyaris 5 cm, dan dua buku tulis bersampul coklat.
"Nomor berapa?" tanyaku langsung tanpa menyapa sebagai salam pertemuan, tidak mau basa-basi.
"Semua."
"Itu namanya bukan tanya tugas, tapi nyalin tugas!" gerutuku.
Rava tertawa.
"Memangnya pacar kamu gak bisa ngajarin?"
Rava diam. Aku merasa salah bicara.
"Tunggu sebentar, aku ambil buku."
Aku ke dalam, tapi bukan ke kamar melainkan ke dapur. Aku kembali ke teras dengan membawa nampan yang berisi sepiring martabak dan air putih hangat.
"Bukunya mana?"
Aku menyengir, mengerti kebingungan Rava. Karena sejujurnya, "Aku juga belum siap."
"Tadi kata bang Pratama, tadi gak kerja. Kenapa belum siap?"
"Main sama Zero."
"Kalian sering habiskan waktu bersama?"
"Iya. Kan, sekarang, kita yang gak punya waktu bersama."
Aku mengambil sepotong martabak coklat, melahapnya dengan senang. Padahal waktu di rumah Zero, perutku rasanya sudah terisi penuh, tapi ternyata masih ada ruang kosong yang bisa diisi. Sepertinya benar kalau lambungku ini elastis seperti karet, jadi bisa menyesuaikan kondisi kalau kira-kira ada makanan enak yang bisa disantap supaya tidak dibiarkan mubazir. Sebenarnya mubazir itu hanya alasan saja, karena martabak bisa disimpan lalu dihangatkan besok pagi untuk sarapan. Kebiasan kami sejak dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Teen FictionAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...