Aku termenung dalam warna-warni hari kelulusan. Hijau, kuning, merah, ungu, biru, coklat, oranye, meluncur bebas mengisi seragam sekolah. Namun warna hanyalah warna. Pikiranku tetap saja berada dalam ambang abu-abu. Perpisahan bersama Zero berhasil menarik hidupku, seolah-olah perjalananku turut selesai bersama dengan kepergiannya. Rava mengajakku tenggelam dalam keramaian, menyebur dalam serba-serbi warna yang keluar dari botol berbentuk tabung yang disemprotkan dengan bebas.
"Sha, sebentar lagi bakalan ada pertunjukkan, kamu pasti suka!"
Aku tersenyum seadanya. Ironisnya kepalsuan ini berjalan dengan lancar. Jika ada seseorang yang bisa membaca hati dan pikiran manusia, maka orang itu akan langsung tau bagaimana heningnya perasaanku yang hambar. Tak ada sesuatu yang membuatku bahagia. Aku masih menunggu kehadirannya. Kadang-kadang, tidak! setiap saat bahkan, aku suka membayangkan kalau dia akan datang dan merebutku dari rasa sepi. Kemudian kami akan berlari menembus kebahagiaan lalu berpelukan dengan begitu erat untuk memecahkan puncak kerinduan yang bertubi-tubi mengancam kejiwaan. Tapi halusinasi itu belum juga terjadi, padahal aku sudah menunggu lebih dari satu bulan.
Kami menepi dari lapangan setengah jam berikutnya, duduk bersimpuh pada lantai dengan kisaran jarak yang tidak beraturan. Debu dan pasir menyapu permukaan lapangan, begitupun tidak memadamkan niat kami meramaikan hari kelulusan.Sepasang pembawa acara muncul tepat di tengah lapangan, suaranya yang lantang membuat kemeriahan semakin menjadi-jadi mengisi seluruh penjuru sekolah. Kemudian yang paling ditunggu-tunggu, perwakilan setiap kelas memperlihatkan aksi pesonanya. Ada yang menari, bernyanyi, main drama, dance, bahkan membawakan puisi perpisahan yang berhasil mengahanyutkan suasana dengan nuansa sedih. Aku tidak ikut berkontribusi, karena saat ini aku lagi butuh dihibur. Meskipun rasanya tetap sama. Acara selesai, kemudian hampa kembali merangkul.
Neisha dan Dame memelukku dengan bangga, bersama yang lainnya, mereka berhasil membawakan performance dance Blackpink "How You Like That" . Pertunjukkan itu mampu memberi kesan terakhir yang manis. Semua orang berteriak, bahkan tidak sedikit pula yang meniru gerakkan mereka, lapangan yang luas dijadikan panggung untuk meliukkan badan dengan lincah, sedang sorotan sinar matahari bagaikan lampu yang menyinari wajah.
"Buat aku, ini perpisahan paling keren deh!" kata Neisha memuji keunggulan anak-anak osis yang kerja kerasnya berhasil merubah konsep perpisahan biasa menjadi lebih modern.
"Acaranya memang keren. Tapi yang namanya perpisahan, gak ada yang keren!"
Semua mata memandangku. Nada tegas bercampur sedikit emosi itu berhasil membuat aku sebentar menjadi pusat perhatian. Padahal aku hanya mengungkapkan sebagian isi hati.
"Setidaknya ini bisa jadi kenangan abadi yang manis, Sha."
Aku menghela napas. Rasanya ingin sekali menolak mentah-mentah pendapat Rava. Terlalu kuno dan tidak berkembang. Untuk apa membuat kenangan manis kalau cuma untuk diingat saja dikepala? Kenangan itu akan abadi terekam dalam ingatan, menimbun keping-keping kerinduan yang suatu saat bisa meledak. Menyendat kebahagiaan dengan kenangan yang cuma bisa diingat tanpa bisa diulang. Padahal sesuatu yang manis itu harusnya bertahan, tidak usah pergi saja biar hidup juga berjalan sejalan menjadi damai sentosa. Tapi sehebat apapun aku menolak, kalimat yang keluar justru, "Benar. Aku tidak akan melupakan kenangan kita bersama."
Setelah itu pandangan satu persatu mereda. Melupakan? Aku tertawa keras dalam hati mendengar kalimat sendiri. Sejak dulu, kepala itu digunakan untuk berpikir dan mengingat, bukan melupakan. Jadi rasanya aku tidak perlu repot-repot mengatakan kalau aku tidak akan melupakan kenangan kami. Bahkan kalaupun lupa, kepala kita justru memaksanya untuk mengingat. Seperti itulah sulitnya perpisahan. Menyiksa perlahan. Kadang-kadang juga bisa memakan porsi berat tubuh, karena terlalu banyak mengingat yang manis sampai tidak punya waktu untuk membuat sesuatu yang manis pula.
Satu persatu orang-orang beranjak pergi, ada yang foto menyesakkan galeri ponsel, cerita untuk yang terakhir kali, saling menautkan janji untuk memberi kabar meskipun tidak lagi bersama, juga berpamitan pulang karena hari sudah sore. Sedang aku masih disini. Duduk pada bangku panjang dipinggir lapangan, mataku mengarah pada pagar menjulang, tempat pertemuan dan perpisahan berlangsung. Benda mati yang besar itu menjadi saksi bisu, betapa bahagianya aku diantar dan dijemput dengan seorang pria yang kini tidak aku tau bagaimana kabarnya. Begitupun, aku masih mengingat setiap inci pahatan wajahnya. Apalagi senyum manis yang terukir, membentuk bulan sabit yang membuat pesona permukaan wajahnya menjadi semakin tampan.
Seseorang duduk disampingku. Aku bisa menebaknya tanpa menoleh, hanya dengan mencium aroma tubuhnya saja. Rava menyerahkan selembar foto, menampilkan kami berdua dengan senyum seadanya.
"Fotonya sudah jadi? Kamu cepat sekali!"
"Suka, gak?"
"Lumayan. Untuk kenang-kenangan."
"Padahal kita gak berpisah. Rumah kita masih dekat."
"Persiapan aja."
"Sejak kapan kamu siap sama perpisahan?"
Aku menoleh. Mendapati pandangan Rava yang lekat. Aku membalasnya tidak kalah rekat. "Maksud kamu apa? Aku siap! Kamu mau pergi? Iya?"
Rava menaikkan bahunya acuh. Seolah-olah tidak menghiraukan ucapanku. "Dari kecil, aku udah diajarkan soal perpisahan. Buktinya, ibuku pergi waktu aku lahir ke bumi."
"Kamu memang diajarkan, tapi kamu gak berhasil mempelajarinya."
"Kamu gausa sok tau, yang rasain itu aku!"
"Kamu merasakannya, aku melihatnya."
"Memangnya apa yang kamu lihat?"
"Hampa. Kamu belum bisa menerima perpisahan. Iyakan?"
Aku terdiam. Memandangnya dengan sinis, lalu melempar wajah dengan kesal.
"Kalau kamu diam, tandanya aku benar!"
Aku menarik napas dalam-dalam. Belum ada orang yang membicarakan tentang perpisahan setelah kepergian Zero. Belum ada orang juga yang mengetahui bagaimana tersiksanya aku terkurung dalam ruang harapan tanpa pencapaian. Berharap rindu bisa terbalas. Aku memilih diam untuk membenarkan ucapan Rava. Sudah lama kami berteman. Kalau tentang perasaanku untuknya dia terlambat menyadari, mungkin Rava lebih peka tentang perasaan aku untuk Zero yang belum juga usai sampai kini.
--
See u!

KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Teen FictionAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...