Kami sudah selesai makan es kolding tapi tidak langsung pergi, Zero memintaku menunggu sebentar sedang dia beranjak masuk ke warung bu Jum. Entah apa lagi yang akan dia beli.
Sambil menunggu aku lihat-lihat gedung SMK Nangkana dari tempatku berdiri, terbangun menjulang tinggi ingin mencapai langit. Ternyata Zero sekolah disini. Aku tersenyum. Dulu abang juga sekolah disini tapi beda jurusan. Zero jurusan tata boga sedang abang jurusan otomotif. Dulu abang lamar pekerjaan di kafe ibunya Zero tapi ditolak, sekarang malah aku yang diterima. Memang semesta itu paling bisa mengatur takdir, biar serba-serbi warna kehidupan jadi berwarna.
"Lihat apa?" tanya Zero sudah kembali dengan satu plastik warna biru di tangannya.
"Sekolahmu. Sudah siap?"
"Sudah. Ini, keripik singkong." ujarnya menyodorkan.
Aku belum langsung menerima, "Lagi?" tanyaku mengarah pada kebaikannya yang terus memberikan aku sesuatu.
"Memangnya kenapa aku harus berhenti?" Zero tersenyum, mengambil tanganku lalu menaruh plastiknya. "Masa kamu cuma cobain koldingnya wak Begal. Keripiknya bu Jum juga harus, enak juga kok!"
Aku menghela, ada saja alasannya. "Yasudah aku cobain. Tapi ini yang terakhir ya?"
"Kalau itu aku gak bisa janji."
Aku hanya memandangnya. Ada rasa tidak enak yang mulai bertamu, ada rasa nyaman juga yang mulai membelenggu. Zero memberikan aku helm, lalu kami beranjak pergi menuju kafe.
"Tadi kamu lihat sekolahku, mau masuk ke dalamnya?" tanya Zero mengisi kekosongan perjalanan. Kaca spionnya masih dibiarkan mengahadap ke wajahku, membuat aku juga bisa dengan bebas memperhatikan wajahnya. Ternyata kalau tersenyum, bagian kanan pipinya bolong. Aku melewatkan satu hal kalau ternyata selama ini Zero punya senyum yang manis.
"Sudah pernah."
"Kapan? Sama siapa? Kamu lagi dekat atau pernah dekat sama anak SMK Nangkana lain?"
Aku tertawa dibuatnya yang kelihatan khawatir. Dia bahkan mulai menepi dengan tujuan untuk menghentikan laju motor.
"Bukan. Bang Pratama itu alumni SMK Nangkana, Zero."
Aku mendengarnya menghela napas, kami tidak jadi berhenti. "Oh, ya?" tanyanya senang. Entah senang karena ternyata abangku juga berada di sekolah yang sama dengannya atau karena aku tidak dekat sama anak lain di SMK Nangkana.
Aku mengangguk mantap. "Jurusan otomotif."
"Keren. Jago urusan kendaraan dong?"
"Benar! Abang dan ayah itu kerja sama buka usaha bengkel mobil."
"Dimana?"
"Dari simpang raja, masuk di jalan mahkota, namanya bengkel Pratama."
"Oke, nanti aku minta mama sama papa pindah bengkel."
Aku tertawa mendengar idenya. "Abang juga dulu lamar kerja di kafe kita loh, tapi ditolak."
Zero ikut tertawa, "Beneran?" Sama sepertinya, aku juga masih takjub sama takdir yang disusun semesta untuk abang dan aku. Kesempatan yang gak abang terima dulu, sekarang malah aku yang mendapatkannya.
"Iya!"
"Mungkin memang sudah jalannya bang Pratama, keahliannya gak cocok buat terjun ke dapur."
"Iya juga!" seruku masih dengan tertawa. Membayangkan abang yang paling anti buat masak. Pernah bi Tami minta abang buat balik ayam goreng, karena bi Tami lagi sesak buat ke kamar mandi sedang aku masih di sekolah. Ternyata abang mengenakan helm dan sarung tangan cabut rumput karena takut terkena cipratan minyak. Bi Tami ketawa habis-habisan menceritakannya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Completed]
Fiksi RemajaAsha: "Aku mencintai sahabatku sendiri. Seharusnya tidak begini, karena hatinya bukan untukku." Zero: "Ela, pacarku. Mereka memperkosanya. Mereka merenggut kecerian, keberanian, dan kewarasan jiwanya." Luka adalah bagian dari perjalanan hidup. Kehad...