Deral menatap nanar keluarganya, dari ujung tangga, lelaki itu bisa melihat betapa harmonis nya keluarganya.
Tertawa bersama, bercanda gurai. Mereka semua terlihat sangat bahagia, seolah tidak ada beban hidup lagi.
Deral memantapkan hatinya sebelum perlahan melangkahkan kaki panjangnya mendekati ruang keluarga, dimana keluarganya masih tertawa bersama.
Mata tajam itu berubah menjadi dingin dan datar, wajah yang biasanya berseri kini berubah tanpa ekspresi.
"Pah," panggil Deral ragu. Sangat jarang ia memanggil Ronni, dan itu membuatnya sedikit canggung.
Ronni bahkan seluruh keluarganya langsung menatap Deral dengan pandangan yang berbeda-beda. Dari yang sinis, datar, dan juga tatapan kebencian langsung menghunus ke arahnya.
Deral tentu tidak peduli, dalam hatinya, ia menganggap jika mereka tidak ada. Bayangkan saja hanya dirinya dan Ronni yang ada.
"Kenapa?" Tanya Ronni sedikit ketus.
"Papa di panggil ke sekolah."
"Ck! Kau ini, selalu saja begitu. Apa Kau tidak tau bagaimana malunya saya punya anak seperti mu?! Tidak di kantor polisi, tidak di sekolah, sama saja! Sama-sama maluin nama saya."
Deral memejamkan matanya sebentar, kemudian membukanya kembali. "Lo mau kesekolah apa nggak? Gue gak butuh bacotan!"
"Deral!"
Sunni berdiri, ia menatap nyalang cucunya itu. Tidak menyangka bahwa Deral dapat se kurang ajar itu kepada ayahnya sendiri.
"Apa kau tidak tau sopan santun? Pantas saja banyak yang membenci mu."
"Gue gak peduli, ini hidup gue."
Prang
Deral terlonjak kaget, ia menatap datar Ronni yang melemparkan vas bunga kaca sampai hancur belebur di lantai rumahnya itu.
"Pergi!"
"Jadi lo gak mau datang kesekolah?" Tanya Deral santai. Sebenarnya ia tau bahwa jika Ronni sangat emosi saat ini, namun ia bodo amat. Mau Ronni membunuhnya juga ia tidak peduli. Bahkan, ia ingin berterimakasih jika Ronni membunuhnya dari dunia kejam ini.
"SAYA BILANG PERGI!"
Deral mengangguk santai, ia melangkah kan kakinya menjauh dari ruang tamu dengan gerakan santai. Lelaki itu naik keatas untuk mengambil jacket dan juga kunci motornya.
Dan tidak lama ia kembali turun dengan setelan yang lebih rapi. Hoodie hitam sangat pas melekat di tubuh atletisnya, celana hitam dengan sedikit sobekan di lutut, dan jangan lupakan sepatu sneakers putihnya.
"ANAK SIALAN!"
"GUE GAK PEDULI!"
***
"Lo mau ngapain lagi?" Xe bertanya dengan nada yang ketus.
"Gue mau liat anak gue, bukan mau nemuin, Lo."
Xe berdehem singkat, malu sendiri akan pertanyaan konyol yang keluar dari mulutnya. "Y-ya maksud gue, Lo ngapain datang kerumah gue malam-malam begini?"
Deral mengangkat kresek putih di tangannya, "Gue bawain Lo makanan."
Dengan bersusah payah, Xe menelan ludahnya sendiri. Di depannya saat ini sudah ada jajanan yang cukup banyak. dibalut plastik besar yang bertulisan 'Indomaret'
Menyadari sesuatu, segera Xe mengganti mimik wajahnya menjadi ketus kembali. "Gue gak butuh! Udah sana pulang!"
Mulut bisa saja berkata tidak, tetapi siapa tau akan hati? Saat ini, itulah yang di rasakan oleh Xe. Menahan nafsu untuk tidak merebut kantong plastik itu untuk melahap semua jajanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Mula
Teen FictionPositif. Ah, tidak. Lelaki humor penyimpan sejuta luka itu sebentar lagi akan menjadi seorang ayah. Dimana, malam itu adalah malam tersial untuk kedua insan itu. Penasaran dengan kisahnya? Maka, marilah kita ikuti alurnya dan juga ambil pelajaran d...