Chapter 20

6.9K 460 62
                                    

Disclaimer: 🔞

Jantung Andin berdegup sangat kencang ketika mendengar suara Al. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya sebelum berbalik menghadap Al yang menatapnya dari atas kasur dengan wajah mengantuk.

"Ga apa-apa, Mas.." Andin kembali ke kasur dan meninggalkan ponsel Al yang masih tergeletak di lantai. Andin mencium bibir Al, dagunya, pipinya, dahinya, matanya, dan memeluk kepala Al ke dadanya. "Ayo tidur lagi, Sayang."

Tidak butuh waktu lama bagi Al untuk kembali tertidur di pelukan Andin. Andin memeluk Al erat ke dadanya sambil menahan tangis. Dia sudah berjanji bahwa tidak akan ada lagi kebohongan tapi dia sudah berbohong lagi pada Al. Pesan dari Rendy sudah mengubah segalanya. Andin tidak tahu lagi bagaimana dia bisa mengelak jika Al membaca pesan itu. Mungkin memang sudah waktunya dia jujur dan menceritakan semuanya pada Al.

Lama Andin berbaring disana memeluk Al dan membelai rambutnya yang lembut tanpa melakukan sesuatu pada pesan yang bisa menghancurkan hidupnya. Dia merasa sangat lelah berbohong dan sekuat apapun dia ingin mempertahankan Al saat ini, pada akhirnya dia tetap harus melepas pria itu karena Al pasti akan sangat membencinya ketika semuanya terungkap.

Al terbangun sore itu setelah tertidur pulas selama lima jam non-stop di pelukan Andin. Al membuka matanya dan melihat wajah cantik Andin sedang memandanginya dengan tatapan sedih dan putus asa.

"Ndin.. Kamu kenapa?" Tanya Al khawatir.

"Mas Al.." Andin menangis sesenggukan dan memeluk Al dengan sangat erat sampai Al kesulitan bernapas.

"Ndin.. Kenapa?" Tanya Al lagi sambil mengusap-usap punggung Andin dan mencium rambutnya yang basah berulang kali.

"Mas Al.. Aku udah bohong sama kamu." Kata Andin terisak-isak.

Tubuh Al menegang mendengar kata-kata Andin.

"Bohong apa?" Tanya Al pelan beberapa saat kemudian.

"Aku..." Andin tiba-tiba bangkit dari kasur dan mengambil ponsel Al yang berada di lantai. Dengan jantung berdegup kencang, Andin memberikan ponsel itu kepada Al.

Al menatap Andin bingung.

"Baca chat dari Pak Rendy." Kata Andin lemah.

Al menundukkan kepalanya dan membaca chat terakhir dari Rendy. Dengan putus asa, Andin melihat ekspresi Al yang berubah dalam sekejap setelah membaca chat itu.

"Dayana.." Al menggelengkan kepalanya dan menatap Andin dengan tatapan yang membuat tubuh Andin gemetar hebat. 

"Sepupu aku itu Mbak Dayana, Mas. Tunangan kamu dulu." Kata-kata Andin membuat Al tersentak. "Tapi sekarang dia lumpuh dan karirnya hancur." Tambah Andin terisak.

Al menatap Andin tak percaya. Al mengingat pertemuan terakhirnya dengan mantan tunangannya, Dayana Larasati, di bandara Ngurah Rai dua tahun yang lalu. Dia mengingat semua kata-kata yang dilontarkan Dayana padanya. Dalam kondisi marah Dayana bersumpah tidak akan pernah memaafkan Al sampai kapan pun dan mendoakan agar Al mendapatkan karma yang setimpal. Karma. Karma. Karma. Kata itu terngiang-ngiang di benak Al.

Al mulai menyatukan kepingan-kepingan puzzle selama enam bulan terakhir semenjak dia pertama kali bertemu Andin. Andin yang selalu berada di tempat yang sama dengannya. Andin yang menjadi pelanggan salon yang sama dan menjalin pertemanan dengan mama Rossa. Andin yang mendekatinya secara halus melalui perantara mamanya. Andin yang selalu penuh perhatian dan sabar menghadapinya. Dan Andin yang memiliki sepupu di Bali bernama Dayana yang mengetahui banyak hal tentang hubungan mereka.

Dengan terisak-isak Andin mulai menceritakan semuanya pada Al. Semuanya. Tidak ada lagi yang dia tutup-tutupi. Andin sudah tidak punya tenaga lagi untuk berbohong. Sepanjang cerita, Andin tidak pernah melepaskan pandangannya dari wajah Al, mengukir wajah pria itu di ingatannya, tahu bahwa ini adalah kali terakhir dia menatap wajah pria yang sangat dicintainya itu.

Al hanya diam membisu dan menatap Andin nanar bahkan setelah Andin selesai bercerita. Dia seperti hilang akal dan seolah tidak percaya semua ini benar-benar terjadi, sementara air mata menetes keluar dari sudut matanya.

Andin tersungkur ke lantai, tidak sanggup melihat ekspresi Al yang menyayat hati. Dia menangis sejadi-jadinya, berdoa tiada henti semoga Tuhan menyelamatkan Al, menguatkannya, mengasihinya, sementara Andin tidak meminta apa-apa untuk dirinya sendiri.

Dari tempatnya berlutut Andin memperhatikan Al berjalan dengan agak linglung ke arah pintu keluar. Al bahkan melupakan ponselnya yang tadi terjatuh ke lantai setelah Al membaca pesan dari Rendy.

"Mas Al.. Tunggu!"

Dengan panik Andin mencoba menahan Al. Dia tahu Al tidak dalam kondisi yang memungkinkan untuk menyetir. Andin meraih lengan Al tapi Al menepis tangan Andin dengan kasar. "Jangan sentuh!" Bentak Al. Sentuhan Andin tampaknya membuat Al tersadar dan membangkitkan kemarahannya.

"Mas.. Aku telepon Pak Rendy buat jemput kamu ya? Kamu jangan nyetir sendiri." Bujuk Andin, tiba-tiba mendapat firasat buruk.

Al tidak menghiraukan Andin dan terus melangkah ke arah pintu. Andin berlari dan berdiri di depan pintu untuk menghalangi Al.

"Minggir!" Al menggertakkan giginya.

Andin berdiri gemetar di depan pintu tapi dengan keras kepala dia tetap berdiri disana, menghalangi Al. Andin merasa sangat rapuh berdiri di depan Al, begitu ingin memeluknya. Tapi Al sangat marah padanya dan Andin tidak tahu apakah Al akan bisa memaafkannya.

"Mas Al.. Please.. Aku ga mau kamu kenapa-napa." Andin memohon.

"Bukannya kamu malah senang kalau saya kenapa-napa?" Ujar Al kejam. "Kalau perlu saya mati saja sekalian!"

Andin memejamkan matanya, merasa sangat terluka mendengar kata-kata Al barusan. Bahunya bergetar hebat menahan isak tangis. Tapi dia tetap berdiri disana, tidak beranjak sedikitpun.

"Minggir!" Perintah Al sekali lagi. Tapi Andin tetap bergeming.

Amarah Al semakin memuncak melihat Andin yang keras kepala.

"BANGSAT!" Al berteriak sangat kencang. Dia memukul pintu di dekat kepala Andin dengan sangat keras dengan tangannya yang memar dan terluka. "BISA GA? BISA GA KAMU SEKALI SAJA DENGERIN SAYA? SAYA BILANG MINGGIR!" Al mencengkeram kedua lengan Andin dengan kasar dan mengguncang-guncang tubuhnya ke pintu.

"Mas Al.. Stop.." Andin merintih kesakitan.

Al melepas cengkeramannya dan berbalik ke dalam ruangan. Dia mengambil koper Andin yang terletak di lantai dan melemparnya ke dinding dengan sekuat tenaga, di susul dengan lampu meja, bantal, bed cover, dan semua barang yang bisa diraihnya sementara Andin meringkuk tak berdaya di depan pintu, memandang Al dengan putus asa.

Beberapa saat kemudian, dengan terengah-engah, Al berjalan ke arahnya dan berlutut di hadapan Andin. "Andin.." Kata Al dengan suara parau dan putus asa, "Saya mohon, tolong minggir. Saya sudah ga punya tenaga lagi, Ndin. Balas dendam kamu berhasil. Saya sudah hancur sekarang." Al menghapus air matanya kasar dengan punggung tangannya.

"Mas Al.." Tangis Andin tak terbendung lagi, dia sangat hancur melihat Al seperti ini. Mereka sama-sama hancur gara-gara perbuatannya.

"Aku cinta sama kamu, Mas.." Kata Andin terisak. "Mungkin suatu hari nanti kamu bisa maafin aku." Andin menatap Al dengan tatapan memohon.

Tetapi Al mengalihkan pandangannya dari Andin, memungut handphone nya dari lantai, memindahkan tubuh Andin dengan lembut dari depan pintu, dan berjalan keluar dari pintu hotel dan dari hidup Andin tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.



Wednesday, September 29, 2021

Jangan lupa follow, vote, dan comment ya💕

Aldebaran, My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang