Chapter 3

4.3K 362 30
                                    

Disclaimer: 🔞

Bunyi pintu kamar tidur yang terbuka membuyarkan mimpi Andin yang terlupakan dengan cepat, tetapi aroma jahe yang kuat dan khas menyergap hidungnya. Andin membuka matanya dan melihat Al duduk di tepi ranjang disampingnya.

"Gimana tidurnya?" Tanya Al, tersenyum menggoda Andin yang malah ketiduran saat ditinggal ke dapur sebentar.

Andin balas tersenyum dan duduk bersandar di headboard tempat tidur.

"Maaf ya Mas, aku ketiduran."

"Ga apa-apa." Jawab Al, membelai pipi Andin dengan jemarinya. "Masih mual?"

Andin mengangguk. "Sedikit."

"Ini kamu minum jahe hangatnya, Ndin." Al menyodorkan mug yang dipegangnya pada Andin. "Kata Mama ampuh buat hilangin mual."

Andin menerima mug tersebut dan mulai menyesap minumannya perlahan. Setelah meminum cukup banyak, Andin meletakkan mugnya diatas nakas.

"Makasih, Mas." Ujar Andin, menatap Al. Rambut Al masih basah setelah baru saja mandi dan dia hanya mengenakan celana piyama hitam yang tergantung rendah di pinggulnya.

Pemandangan Al dihadapannya tiba-tiba membuat dada Andin terasa sesak, mengingatkannya pada semua yang akan hilang dari hidupnya jika saja dia kehilangan Al. Andin mengusap rasa sakit di dadanya. Tidak sanggup membayangkannya karena Al adalah segalanya baginya.

"Andin...What's wrong?" Tanya Al, khawatir melihat Andin yang tampak kesakitan.

"Ga apa-apa, Mas. Aku tadi cuma teringat sesuatu." Andin mengusap matanya yang mendadak terasa perih dan menarik napas dalam-dalam. "Sekarang kita bahas masalah kita ya. Mulai dari masalah Lisa kemarin sampai dengan sesi dokter Andi tadi siang. Tapi sebelumnya..." Andin meraih tangan Al dan mencium telapak tangannya dengan lembut. "Aku minta maaf ya atas reaksi aku yang berlebihan kemarin. Harusnya aku dengar dulu penjelasan dari kamu."

Al menyandarkan kepalanya ke headboard dan memejamkan matanya yang lelah. "Kemaren saya sudah seperti orang gila cari kamu kemana-mana. Saya khawatir setengah mati kamu kenapa-napa."

"Mas Al..." Air mata bergulir dipipi Andin. "Kemaren aku sangat emosional dan ga bisa berpikir jernih. Waktu sampai rumah, aku benar-benar marah dan butuh sesuatu untuk meluapkan emosi aku jadi aku lempar piring dan gelas yang ada di dapur." Ujar Andin menunduk sambil menarik-narik pinggiran baju tidurnya karena merasa malu. "Setelah itu aku pergi shopping dan ke salon buat hilangin stress."

Ketika tidak ada respon dari Al, Andin mendongakkan kepalanya dan mengamati Al yang masih duduk bersandar dengan mata terpejam. Al terlihat lelah, dan Andin bertanya-tanya apa Al juga tidak tidur semalaman sama seperti dirinya.

"Sayang, kamu capek?" Andin mengulurkan tangannya untuk mengelus rambut Al.

"Saya ga apa-apa." Jawab Al membuka matanya. "Sekarang tentang saran dokter Andi, kamu serius mau ikuti saran itu?"

"Aku ga tau, Mas." Bisik Andin. "Aku cuma merasa dokter Andi ada benarnya. Tapi waktu di kamar mandi tadi, aku sadar kalau aku ga bisa bertahan tanpa sentuhan kamu."

"Saya juga, Ndin. Makanya saya ga setuju dengan saran dokter Andi." Kata Al. "Memang benar kita kadang berhubungan seks untuk meredam pertengkaran, tapi seks bagi saya adalah cara saya untuk mengungkapkan perasaan saya ke kamu."

Bercinta dengan Andin adalah cara Al untuk memberitahu Andin bagaimana perasaannya terhadap gadis itu. Dengan seks, dia bisa mengatakan dengan tubuhnya apa yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata, dan seks bagi Andin adalah caranya membuktikan cintanya pada Al, sesuatu yang dibutuhkannya agar dapat terhubung dengan Al.

Aldebaran, My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang