Chapter 18

2.3K 275 25
                                    

Disclaimer: 🔞

Ketika jam dua belas menjelang, Andin menguatkan diri untuk mengetuk kantor Devin yang terletak di lantai dasar Hotel Bliss. Andin merasa sangat cemas dan tegang. Ketika Devin mempersilahkannya masuk, kegelisahannya semakin meningkat ketika melihat raut wajah Devin yang muram.

Apa Devin sudah melihat rekaman CCTV itu?

Apakah isinya semengerikan yang Andin bayangkan?

Andin merasa ingin menangis. Pertahanannya mulai runtuh. Dia sudah berusaha keras untuk mengendalikan diri selama tiga jam terakhir, menyibukkan diri di kampus menunggu tengah hari datang. 

Ketika Devin meraih tangan Andin dan menuntunnya ke sofa, Andin menggigit bibir bawahnya dengan keras, meredam tangisan yang keluar.

"Rekamannya sudah siap." Kata Devin, mengedikkan kepalanya ke arah laptop yang ada di atas meja di depan mereka.

"Terima kasih." Bisik Andin, suaranya gemetar menahan tangis.

Andin merasakan Devin mengamati sisi wajahnya yang terpaku ke arah layar laptop yang sudah siap menayangkan video rekaman CCTV begitu tombol play ditekan. Andin menoleh untuk menatap Devin dan meminta untuk memberikannya privasi menonton video itu sendirian. Devin awalnya menolak, tapi akhirnya dengan berat hati dia mengabulkan permintaan Andin dan pergi meninggalkan ruangan.

Setelah Devin pergi, Andin menarik napas dalam-dalam dan mengulurkan tangannya yang gemetar untuk meraih kursor. Dia merasa mual dan pusing karena denyut nadinya yang berpacu tak karuan.

Andin menahan napas saat videonya di mulai. Videonya diawali dengan penampakan lorong kosong yang mengarah ke kamar 708. Kameranya di tempatkan di posisi yang strategis sehingga dapat menangkap area depan kamar 708 dengan jelas. Tidak lama kemudian Andin melihat dirinya dan Al keluar dari kamar tersebut sambil bergandengan tangan setelah kabur dari acara amal dan bercinta selama satu jam disana.

Air mata Andin menetes ketika melihat suaminya menunduk dan mengecup rambutnya berulang kali sepanjang jalan. Hatinya perih melihat display of affection yang ditunjukkan Al padanya dalam rekaman itu. Suaminya tampak begitu menyayanginya. Dan Andin mulai bertanya-tanya apakah semua hanya bayangannya saja dan dia mencurigai sesuatu yang sebenarnya tidak ada.

Tidak ada aktivitas berarti yang tertangkap kamera setelahnya dan Andin tahu dia tidak perlu menonton setiap detiknya karena setelah mereka kembali ke ballroom hotel, Al selalu berada di sisinya sampai di saat ketika suaminya menerima telepon. Dengan jantung berdebar kencang, Andin mempercepat video ke tiga puluh menit terakhir.

Di beberapa menit pertama, video tetap menayangkan penampakan lorong kosong sebelum kemudian bertransisi ke pergerakan di ujung lorong. Tubuh Andin mendadak lemas karena kelegaan yang amat sangat saat melihat Al berjalan menyusuri lorong menuju kamar 708.

Seorang diri.

Andin tertawa dan menghapus air mata lega yang menuruni pipinya saat melihat Al masuk kamar dan menutup pintu.

Tapi kelegaannya tidak berlangsung lama karena tidak sampai lima menit kemudian, kamera kembali menangkap pergerakan di ujung lorong.

Jantungnya—dan setiap organ lain di tubuh Andin—serasa berhenti berfungsi. Andin tidak bisa bernapas, pandangan matanya kabur saat melihat seorang wanita berjalan menuju kamar 708 dan mengetuk pintu.

Nikita.

Ya Allah, ya Allah, ya Allah.

Andin mengucapkan nama tuhan berkali-kali. Napasnya tersengal-sengal dan dadanya terasa sangat sesak. Dia mencengkeram tepi meja dengan panik untuk menopang tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang hingga dia tidak bisa berpikir jernih. Otaknya membeku karena kengerian yang menghunjam jantungnya ketika melihat Al membuka pintu dan menyapa wanita itu, wanita yang tidak ingin Andin lihat lagi sampai kapanpun.

Aldebaran, My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang