Chapter 16

2.7K 319 27
                                    

Disclaimer: 🔞

Air mata mengalir menuruni pipi Andin ketika dia membanting pintu kamar hotel dan meninggalkan Al seorang diri disana. Kemarahan dan sakit hati menjalari tubuhnya. Begitu banyak kemarahan yang terpendam dan dia tidak tahu harus berbuat apa untuk meredamnya. Dia bergegas menyusuri koridor menuju lift dan dengan setiap langkah yang dilalui, semakin sulit rasanya untuk bernapas.

Andin melangkah ke dalam lift yang kosong, dan tepat saat pintu mulai menutup, sebuah lengan menyelip di antara pintu lift untuk menahannya, dan lift kembali terbuka. Andin terkesiap ketika melihat Al masuk kedalam lift. Pintu mulai menutup lagi, dan ketika seorang pria hendak masuk, Al menahan pria tersebut dengan tangannya agar tidak masuk.

"Maaf, liftnya penuh." Suaranya tegas dan berkuasa.

Andin mulai memprotes saat pintu tertutup dan Al berputar ke arahnya, tatapan dan postur tubuhnya terlihat mengancam.

"Cukup, Andin..." Geram Al sambil melangkah ke arah Andin. Gerak tubuhnya mendominasi. "Ayo kita selesaikan pertengkaran konyol ini sekarang juga."

Al melangkah lebih dekat, rahangnya mengeras dan matanya berkilat panas saat menelusuri setiap lekuk tubuh Andin yang terbalut gaun berleher rendah yang memamerkan belahan payudaranya. Andin merutuk dalam hati karena meskipun dia terluka dan sangat marah pada suaminya saat ini—tubuhnya mengingat dengan baik setiap sentuhan dan belaian yang biasa diterimanya ketika Al menatapnya seperti itu.

Andin memaksa dirinya untuk mengingat apa yang sudah Al lakukan padanya, bagaimana Al telah menyakitinya lagi dan lagi, tapi hal itu sangat sulit dilakukan ketika aroma tubuh Al yang memabukkan mendominasi ruangan yang sempit tersebut. Rasa sakit muncul kembali jauh di dalam dirinya saat menatap Al. Andin sudah berusaha mempercayai Al dengan segenap hatinya, tetapi Al selalu memberinya alasan untuk meragukannya.

"Aku ga mau ngomong sama kamu sekarang. Aku capek."

Al tertawa, tetapi wajahnya tidak menunjukkan humor sedikit pun. Al maju selangkah dan Andin mundur sampai punggungnya menempel ke dinding. Al mencondongkan tubuh ke depan dan menempelkan telapak tangannya ke dinding di kedua sisi tubuh Andin, mengurung Andin dengan tubuhnya. "Well, I don't care. This ends right here, right now."

Napas Andin tercekat, berusaha tetap terlihat tenang saat tubuh Al menyentuh tubuhnya. Panas tubuh Al menyelimutinya. Bibir Al hanya berjarak beberapa senti dari bibir Andin. Ingin sekali Andin mencondongkan tubuh ke depan dan menempelkan bibirnya ke bibir Al, melupakan semua yang terjadi. Tapi Andin tidak ingin kembali ke lingkaran setan, dimana mereka menggunakan seks sebagai senjata untuk menyelesaikan masalah dan menghindari konflik.

Seolah merasakan dilema yang dihadapi Andin, pintu lift terbuka dan dengan cepat Andin menunduk dari bawah lengan Al dan berlari keluar dari lift menyusuri koridor menujuballroom hotel, tempat charity event berlangsung. Andin bisa mendengar langkah kaki Al di belakangnya dan Andin mempercepat larinya. Tapi baru beberapa langkah, Al mencengkeram pergelangan tangan Andin dan menariknya ke sebuah ruang meeting yang kosong.

Andin bahkan tidak punya waktu untuk berteriak sebelum Al memutar tubuhnya dan Andin mendapati dirinya di desak ke dinding. Tubuh Al yang keras dan kuat menahan tubuhnya. Andin mendorong bahu Al sekuat tenaga, tetapi Andin tidak bisa menggerakkannya.

Merasa frustasi, Andin mendongakkan kepalanya dan menatap Al dengan mata berkilat marah. "Oke, kalau gitu. Ayo kita selesaikan sekarang. Kamu belum jelasin kenapa sofa berantakan di kamar hotel. Kenapa kamu mandi lagi padahal ruangan acaranya full AC. Dan yang paling penting kenapa Nikita berantakan begitu!" Tantang Andin.

"Saya sudah bilang kalau saya ga tau kenapa Nikita seperti itu." Bentak Al. "Dan kalau masalah mandi lagi, saya mandi biar fresh dan ga mengantuk karena akhir-akhir ini saya kurang tidur dan acara malam ini masih panjang. Saya bahkan sengaja book kamar disini agar bisa langsung istirahat setelah acara selesai. Dan sofa berantakan karena saya cari dompet saya!"

Aldebaran, My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang